4. Musuh Jomblo

55 6 0
                                    

PAGI pun tiba. Aku baru saja selesai jogging bersama Dek Ahmad. Kulirik jam di dinding. Pukul 06.00 tertera di sana. Aku segera membersihkan diri seperti anjuran Umi dan membantu pekerjaan rumah.

Rencananya, hari ini aku langsung pulang. Mengingat tanggung jawabku juga besar di rumah. Banyak orderan setia yang menunggu. Aku tidak ingin menolak rezeki dengan cara menghilang. Aku tak kepingin mengulangi kesalahan yang sama. Lagi pun, ini rezekiku. Aku seharusnya memperjuangkan, bukan?

"Mas Azmi, makasih ya buat tadi malam. Tadi malam filmnya seru tahu! Aku baru pertama kali nonton film seserem itu," ujar Ahmad antusias. Dia mendekatiku yang tengah mencuci beberapa lembar sayur sawi putih.

"Iya. Baguslah kalau kamu suka. Sekarang lebih baik kamu bantu Umimu masak."

Aku mematikan keran air dan berganti ke pekerjaan lainnya. Kuhampiri Umi yang mungkin sudah selesai meracik bumbu.

"Sudah, Umi?" tanyaku ramah.

"Iya. Tinggal masukin garam aja."

Umi pun memasukkan garam dan menguleknya kembali. Kulirik Ahmad yang masih diam tanpa berkutik sama sekali. Dapat kupastikan, dia kesal dengan perintahku.

"Kenapa masih di situ? Ayo, cepatlah membantu." Aku menyeringai lebar tatkala Ahmad mulai melangkah pada kami.

"Aku harus apa?" tanyanya tak semangat.

"Kenapa seperti itu? Tidak ikhlas?" ejekku seraya memainkan kedua alisku.

Dia membuang napas pelan, lantas tersenyum manis. "Ada yang bisa kubantu?"

"Terlalu formal," komentarku.

Dek Ahmad mendengus. "Aku harus apa?" Kali ini dengan nada sedikit rileks. Bolehlah.

"Kamu ambil mi instan di lemari, hancurkan, rebus air, tuang bumbu di piring, tambahkan micin, masukkan mi jika air sudah mendidih. Setelah itu, ambil telur, pecahkan, kocok hingga merata, campurkan mi yang sudah masak. Sebelum mi dimasukkan, jangan lupa air rebusan minya disaring. Goreng hingga matang. Jangan under cook atau malah over cook. Alias kurang matang dan ...." Aku menatap Ahmad, berharap dia melanjutkan dengan benar.

"Gosong." Ahmad menjawab tak semangat.

"Anak pintar," pujiku. "Cepatlah lakukan!" aku menyeru seraya bertepuk tangan. Umi hanya terkekeh sembari menggeleng-geleng heran.

"Sudah, nih. Kamu yang masak, ya? Umi mau beres-beres dulu." Aku mengangguk setuju seraya mengambil alih pekerjaan Umi. Umi keluar dapur, mulai membersihkan rumah.

Aku menyiapkan wajan, kuberi sedikit minyak, kugoreng telur secara orak-arik, lantas kumasukkan perpaduan bahan-bahan bumbu yang sudah dicampur sedemikian rupa.

Aku terus mengorak-arik masakanku, lalu mencoba melirik Ahmad. Dia beberapa kali berjalan menjauh, merasa kepanasan di dekat api. Memecah telur pun hingga tercecer di lantai. Dia tak menyerah. Mengambil lagi telur di lemari pendingin, dan ... pecah lagi. Hingga telur ke-5 pun masih sama. Di dalam kulkas tinggal satu telur. Dia mengambil ancang-ancang dan ... berhasil! Aku tersenyum bangga. Akhirnya dia berhasil.

"Semangat, Ahmad!" Aku terkekeh melihat raut wajahnya yang tak menentu. Kumasukkan potongan sawi putih dan taoge ke dalam. Kembali kuorak-arik hingga matang. Aku mengambil sedikit air di gayung, kutambahkan sedikit air di masakanku.

Beberapa menit kemudian, masakanku sudah siap dihidangkan. Kuganti wadahnya dan kusiapkan di meja makan, walaupun nanti kalau makan tidak di meja makan. Aku mencuci semua peralatan tadi, lalu kulirik kembali Ahmad yang tengah berjuang.

Thank You, Es Jeyuk ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang