SATU bulan berlalu dengan cepat. Hari-hariku kini terasa lengkap dengan kehadiran Nasha. Ia selalu memperhatikanku dan menggodaku ketika ada kesempatan. Laki-laki mana yang tidak suka diperlakukan seperti itu? Apalagi aku tahu dia istri sahku, aku jadi merasa tidak berdosa karena kenyataannya memang aku tidak berdosa.
Nasha sudah kuajak untuk tinggal di rumah sederhanaku. Ia sama sekali tidak menolak ataupun mengeluh. Ia selalu tersenyum bahagia dengan kehidupannya yang sekarang. Walaupun jauh dari kebiasaannya dulu yang serba kecukupan, tapi kami juga tidak kekurangan, dan ia mulai terbiasa. Tapi terkadang aku merasa bersalah, karena menganggap bahwa aku sudah membuat hidup Nasha sengsara dan tidak bahagia. Namun, semua hal negatif yang ada di benakku segera sirna dengan senyuman dan tutur katanya yang halus. Hal itu membuat setiap detik dalam hidupku dipenuhi rasa cinta dan pikiranku untuknya saja.
Ia selalu marah ketika aku mengucapkan kata, "Aku hanya mencintaimu." Alasannya cukup mudah diterima dan anggun. Karena ia menganggap bahwa aku sudah tidak mencintai Allah, Rasulullah, dan keluargaku. Setiap momen itu pun ditutup dengan tawa renyah di antara kami.
Dua minggu sekali aku akan mengajak Nasha menginap di rumah Abah dan Ummi. Itu memang pesan kedua orang tuaku agar mereka senantiasa dekat denganku dan dengan istriku. Walaupun aku harus membujuk istriku agar mau ke rumah orang tuaku, tapi ia selalu ikut ketika pada akhirnya aku tetap keukeuh dengan ajakanku. Ia selalu berkata, "Aku istrimu. Ke mana pun kamu pergi, aku harus ikut. Jadi sekarang pun aku harus ikut." Di saat itulah senyuman mengembang di wajahku. Kami pun berjalan bergandengan menuju motor dan berpacaran di atas motor. Sangat menyenangkan. Tentunya kami tidak mau menjadi orang kudet alias kurang update.
Hal yang lagi nge-trend di kalangan suami-istri Muslim adalah pacaran halal dan kekasih halal. Lucu, ya? Karena setiap aku berbicara itu, kami langsung tertawa renyah.
Alasan mengapa istriku sulit diajak ke rumah orang tuaku adalah karena malu. Ia malu, karena sampai sekarang belum memberikan keturunan untukku dan keluargaku. Ia terkadang juga menjauhiku dan aku sendiri yang repot membujuknya. Memang benar, kata-kata "Perempuan selalu benar, laki-laki selalu salah" itu sangat terbukti. Karena aku mengalaminya.
Malam ini, aku dan Nasha berada di teras masjid. Sudah hampir satu jam kami menunggu hujan mereda, tapi belum ada tanda-tanda hujan akan berhenti, justru semakin lama semakin deras.
Aku dan Nasha duduk di atas sajadah. Satu sajadah dibagi dua. Hawa dingin akibat hujan memang membuatku tidak kuat. Setiap kali aku kehujanan, walaupun sudah pakai jas hujan, tetap saja aku akan sakit di kemudian hari. Makanya aku mengajak Nasha duduk di atas sajadah, berdua.
Nasha tampak asik memandangi hujan di depan sana. Matanya berbinar-binar, tapi selalu meredup kala menengok ke arahku. Tatapannya pasti beralih cemas.
Aku menggigit bibir bawah. Dinginnya semakin menusuk ke tulang. Tapi aku tidak boleh mengeluh. Aku pasti akan membuat kecemasan Nasha semakin menjadi. Hal itu membuatku merasa bersalah.
"Kamu kedinginan, Mas?" tanya Nasha sembari menengokku. Aku menatapnya, lantas menggeleng seraya tersenyum kecil.
"Justru kamu yang kedinginan," ucapku sembari merangkulnya dan membawanya di dekapanku. Ia mendongak untuk menatapku. Aku menunduk, membalas tatapannya. Kedua mata kami beradu. Saling memberikan kehangatan dan kenyamanan.
"Kamu jangan bohong. Kamu kedinginan. Kamu itu kalau nggak kuat dingin jangan sok tegar gitu bisa nggak, sih?" omelnya. Ia kembali menyenderkan kepadanya di dadaku. Aku tersenyum kecil, lantas mengusap lembut kepalanya yang tertutup khimar.
"Nggak bisa," jawabku singkat. Nasha menjiwit lenganku keras. Aku menengaduh kesakitan seraya mengelus-elus bagian yang dijiwitnya.
"Sakit, Sha," aduku dengan wajah masam. Ia memutar bola mata jengah dan tetap tidak peduli. Nasha kembali menyenderkan kepalanya di dadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You, Es Jeyuk ✔️
FanficSetelah melewati kejombloan lima tahun usai menjadi Sarjana Ekonomi Syari'ah, aku mendapatkan jodohku melalui cara yang tak biasa. *** Hari-hariku dipepenuhi dengan pertanyaan "Kapan nikah?". Selama lima tahun pula aku hanya menjawab tanpa kepastia...