17. Di Balik WC

48 5 0
                                    

"MBAK nggak apa-apa. Kamu kok udah di sini? Terus, di luar ada siapa aja? Kayaknya rame, tuh," sahut Nasha dengan wajah ceria. Bihar tersenyum ceria. Aku tahu, senyuman itu menunjukkan bahwa betapa kuatnya Nasha menghadapi ini semua hingga masih bisa tersenyum. Aku pun hanya bisa menatap Nasha haru seraya tersenyum tipis.

"Iya, dong! Aku kan adik yang baik. Aku juga tadi bawain beberapa kerjaan buat Mas Azmi." Bihar terkekeh, aku meliriknya sedikit. Wajahku tetap datar ketika seperti ini.

Nasha cemberut. Ia menatap Bihar tidak suka.

"Kamu tahu nggak? Mas Azmi itu capek, tau! Sering banget loh, dia nggak tidur malam terus tidurnya tengah malem dan bangun lagi pas shalat malem. Kamu kebayang nggak sih, berapa jam dia tidur? Cuma tiga jam, tau! Aku udah sering peringatin dia, omelin dia; Tidur! Nanti kalau kecapekan atau sakit, gimana? Aku juga yang repot! Tapi ya gitu, dia nggak peduli sama sekali." Nasha melirikku tajam lalu kembali membuang muka. Aku tetap memasang wajah datar, tetapi kedua mataku mengawasi mereka.

Entahlah. Akhir-akhir ini, aku sering mengulang kebiasaan burukku, datar dan cuek. Aku pun tidak tahu apa penyebabnya.

"Di luar ada polisi. Lebih baik kita cepet. Nggak enak sama mereka," kataku. Aku berbalik badan lebih dulu dan meninggalkan mereka berdua yang masih asyik berbisik-bisik. Aku pun memutar bola mata jengah tanpa melirik ataupun menoleh.

Aku mendengar suara langkah Nasha yang seperti berlari kecil. Aku tetap berjalan tanpa mempedulikannya. Entah karena apa juga aku bersikap seperti ini, aku pun tidak tahu.

Ada yang tahu penyebabnya?

Nasha langsung melompat kecil agar bisa sejajar dengan langkahku. Aku menoleh sebentar dengan senyuman tipis lalu kembali duduk di tempat awal.

"Mas Azmi kenapa, sih?" gumam Nasha pelan. Ia menatap ke belakang. Terdapat Bihar yang duduk di tempatnya tadi. Tatapan matanya kepada Bihar seolah bertanya tentang diriku, persis seperti gumamannya tadi.

"Aku kenapa?" gumamku sangat pelan, nyaris tanpa suara.

Nasha duduk di sampingku seraya mengorek-orek lenganku dengan jarinya. Kalau sudah begini, pasti dia akan berpura-pura memasang wajah imutnya. Dan pastinya, akan membuatku membuka suara.

"Kamu kenapa?" tanya Nasha sedikit berjinjit agar mencapai telingaku. Aku menatapnya dengan perasaan campur aduk. Dapat kupastikan, wajahku pun tidak menentu arahnya.

Aku menggeleng pelan seraya mengedikkan bahu kecil. Dia menyenderkan kepalanya ke lenganku sebentar lalu duduk tegak. Aku menghela napas lega. Untungnya aku tidak terpancing tatapan imutnya. Maaf ya, Nasha.

Tidak lama kemudian, semua polisi sudah berkumpul. Mereka semua datang seraya membawa berbagai peralatan yang dibutuhkan. Ada borgol, tali tambang, jaring, dan lain-lain. Aku bergidik ngeri ketika membayangkan aku yang diborgol, ditali, dan dijerat menggunakan jaring. Pasti sangat tersiksa.

Di kepala mereka terdapat senter. Senter itu dapat menyala otomatis ketika berada di ruangan gelap.

"Langsung saja ke belakang biar lebih cepet," Komandan Haris memberi komando. Semua anggota langsung beringsut ke belakang tanpa suara.

Aku berdiri, berniat mengikuti mereka. Bihar sudah ikut lebih dulu.

Tiba-tiba tanganku dicekal sebuah tangan yang kecil dan lembut. Aku sangat mengenalinya. Itu telapak tangan Nasha.

Aku menghentikan langkahku. Menoleh ke belakang. Nasha terlihat menatapku kesal campur heran. Aku mengangkat sebelah alis seraya menghela napas. Aduh, Sha, jangan bikin aku nggak tega gini.

Thank You, Es Jeyuk ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang