DI warung kebesaran Rozin—yaitu warung es jeyuk—aku bercerita panjang lebar. Sepanjang cerita, Rozin hanya manggut-manggut lalu mengukir janggutnya. Dengan gayanya seperti itu, membuatku muak karena dia sok berpikir keras tapi ujung-ujungnya, kosong. Nggak guna repot-repot ngukir janggut!
Aku melempar biji kacang rebus yang sedari tadi aku nikmati bersamanya untuk menemani kegabutan dan cerita kami. Rozin menghindar, tapi tetap terkena. Bahkan ketika mulutnya terbuka, satu kulit kacang rebus dariku berhasil masuk ke dalam. Untungnya ia tak menelannya. Bisa ngakak tujuh turunan jika sampai terjadi.
"Ye ... lo rese! Masa buang sampah kacang ke gue?" kesalnya.
Ya, kebiasaan kami berinteraksi menggunakan kata lo-gue, bukannya aku-kamu. Dan ya, ketika tidak ada kerjaan atau sama-sama galau kami menggunakan kata itu hanya sekedar menumbuhkan kesal humor. Why not, asalkan kita bahagia? Epribadeh!
"Ya lo dari tadi cuma elus-elus janggut sambil kening lo berkerut. Sok-sokan banget mikir, padahal nggak ada hasil," cerocosku padanya. Aku membuang tumpukan kulit kacang di meja ke tempat sampah, lalu duduk kembali dan menikmati kacang rebus. Entah berapa stok yang disediakan Rozin, tapi menurutku kacang ini tidak habis-habis.
"Ya terus gue harus apa? Marah-marah sama istri lo? Atau malah sama mertua lo? Atau gue susul adik ipar lo ke Ponorogo? Atau gue culik si Destino biar rumah tangga kalian harmonis lagi?" Dari sekian tawaran Rozin, menurutku semua sleding dan nggak normal. Jujur saja, tanganku sangat gatal ingin memijat pelipis yang berdenyut-denyut tak keruan. Teman di depanku ini sangat aneh. Tapi sepertinya, tidak ada temanku yang normal apalagi pengertian. Pasti ada sisi sleding-nya, bahkan aku pun.
"Ya nggak gitu juga, Rozin yang Pintar. Kan bisa cara lain. Lo ada ide nggak?" Aku meliriknya dengan wajah masam. Aku benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikirannya. Untungnya hanya ada aku dan dia. Kalau ada orang lain, bisa malu tujuh turunan punya teman modelan begini.
"Kan lo bilang hand phone-nya disita mertua lo, lo harus bisa bikin gimana lo sama dia berkomunikasi lagi. Nah, lo harus kirimin dia hand phone baru yang berisi nomer lo. Tapi pas elo ngirim hand phone itu, jangan sampai mertua lo tau. Kalau sampai tau, bisa nggak sampai tujuan tuh."
JEDER!!
Akhirnya, satu hal yang paling kutunggu dari mulutnya. Solusi! Usul! Aku mendapatkannya.
Akhirnya ia berbicara tentang apa yang harus kulakukan di langkah selanjutnya.
Aku mengangguk. Mungkin itu usul yang baik. Bisa dijalankan. Aku pun meletakkan semua kacang rebusnya untuk mengusapkan kedua tangan ke wajah. Rozin geleng-geleng kepala.
"Nanti gue bisa minta jasa kurir biar nggak tau. Gue bisa cari tau apa yang terakhir Nasha beli di Online Shop, terus gue minta si kurir bilang ini pesenan lewat jasa online. Soalnya seinget gue, dia suka belanja online dan ada barang yang jadwal kirimnya hari ini. Begitu barang sampai, gue selempitin barang itu ke kiriman gue. Tapi kalau bendanya lebih besar, gue bisa selempitin hand phone itu ke barangnya. Yuhu! Tinggal nunggu di rumah!" Aku senang bukan kepalang menjelaskan seluruh rencanaku. Aku berharap, semua ini terlaksana dengan baik sehingga permasalahan antara aku dan dia segera selesai. Aku pun ikut sedih melihat orang-orang sekitar yang memperhatikan nasibku yang ngenes ini.
"Nah, gitu dong, ceria. Gue tuh ya, udah cap keluarga lo jadi keluarga paling romantis, humoris, pintar, ceria, cerewet, tapi kalau dingin bikin orang disekitarnya beku. Dasar!" Rozin tersenyum lega.
Aku mengangguk tak menyangka. Ternyata pernikahanku mendapat cap seperti itu. Biarkan selama itu baik dan tidak menyinggung, aku terima. Lagian ya, itu bisa jadi bahan humor di antara kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You, Es Jeyuk ✔️
FanfictionSetelah melewati kejombloan lima tahun usai menjadi Sarjana Ekonomi Syari'ah, aku mendapatkan jodohku melalui cara yang tak biasa. *** Hari-hariku dipepenuhi dengan pertanyaan "Kapan nikah?". Selama lima tahun pula aku hanya menjawab tanpa kepastia...