SATU bulan kemudian, aku dan Nasha sudah membaik. Hubungan kami makin lama seperti pasangan muda dimabuk cinta. Tidak ada lagi rasa takut, cemburu, apalagi takut ditinggalkan. Kami benar-benar menjaga hubungan baik ini.
Rutinan dari setiap pagi sampai malam kami lakukan bersama. Aku pun mulai menerima banyak order-an lagi dan Nasha pun membantu membuat kue. Tak kusangka, Nasha sangat pintar menjadi partner kerjaku dan partner hidupku. Aku sangat beruntung memilikinya.
Setelah menikah, ia mengikuti salah satu konveksi di dekat rumah. Kebetulan, konveksi ini bisa dijangkau menggunakan sepeda.
Setiap ada potongan baju atau pesanan, maka Nasha akan mengambilnya dan menjahit sendiri di rumah. Tidak banyak untungnya, tapi katanya dia bosan hanya duduk manis menjadi ibu rumah tangga. Apalagi dia belum juga berbadan dua.
Biasanya, tidak semua pesanan untuk Nasha. Karena bos-nya pun memiliki karyawan lain. Biasanya akan dibagi dan sekiranya mampu.
Jahitannya bervariasi, mulai dari celana, kemeja, seragam, jas, jasket (jas dan jaket), panadon, baju silat, baju Banser, dan sebagainya. Tapi ia tak menerima kaos, karena mesin jahitnya berbeda dari mesin yang ia punya. Lagipula, kaos lebih rumit. Itulah katanya.
Pagi ini, aku sudah berkeliling mengantar pesanan dan mengantar jahitan Nasha. Ya, jika jahitan Nasha sudah selesai, maka akan kuantar ke tempat konveksi tersebut.
Sebenarnya banyak yang menawarkan aku menjadi PNS (Pegawai Negeri Sikil, eh Sipil). Tapi semua kutolak karena aku terlanjur nyaman pada pekerjaanku yang sekarang. Jika aku menjadi PNS pun, aku harus meninggalkan Nasha. Lagipula, hidup kami tercukupi kok dengan ini. Walaupun aku tak tahu apa yang dirasakan Nasha semenjak hidup bersamaku.
***
Satu minggu kemudian, aku terbangun mendengar suara muntahan. Aku mengerjap-erjap, meraba sekeliling, dan ternyata Nasha tak ada. Apa Nasha yang muntah? Aku pun sempat melihat jam dinding seraya bangkit menuju kamar mandi. Memastikan apa benar Nasha yang muntah di malam buta.
“Sha? Nasha?” Aku berteriak, tapi tak ada jawaban. Jikalau ada, jawaban itu suara muntahan.
Aku membuka pintu kamar mandi. Terlihat sosok Nasha tengah berkumur. Apa benar, Nasha yang muntah-muntah tadi?
Aku hanya memperhatikan kegiatannya di ambang pintu. Hingga ia berbalik dan sedikit terjingkat melihatku. Aku mencebik. Apa tampangku seperti hantu? Sampai istriku saja kaget melihatku.
Nasha nyengir lalu keluar lebih dulu. Aku menutup pintu kamar mandi dan menyusul kegiatannya.
Nasha berbaring, menarik selimut, dan membelakangiku. Ia seperti tidak mengantuk tapi ingin tidur. Dasar, perempuan.
Aku ikut berbaring di belakangnya seraya memeluknya dari belakang. Ia seperti menegang, lalu kembali rileks. Aku semakin mengeratkan pelukan.
Surai hitam yang wangi di depanku menggelitik indra penciumanku. Aku pun menciuminya gemas, terkadang aku acak-acak dan aku sendiri yang merapikannya.
Aku kembali tersenyum sembari memeluknya. Ia tetap diam tak berkutik. Mungkinkah ia tertidur?
Aku memindah posisi sambil tetap memeluknya hingga merosot ke bawah. Wajahku bersembunyi di balik tengkuknya. Aku terus mengendus hangat hingga ia berkelit geli. Aku menahan kepalanya lembut dengan tanganku yang ada di atas.
"Mas ...," panggilnya dengan nada menahan geli. Rasa geli itu semakin tampak dengan polah tingkahnya. Aku tersenyum senang sambil melihat wajahnya singkat dan kembali menciumi tengkuknya.
"Ka–kamu lagi pengen, ya?" tanyanya spontan, membuat pipiku menghangat.
"Enggak," jawabku setelah sekian lama bersembunyi di tengkuknya sambil berbaring telentang. Nasha membalikkan tubuhnya dan mata kami saling beradu. Jantungku sangat tidak keruan. Tidak dapat dikontrol lagi. Bahkan aku mendengarnya sendiri. Untung saja, aku masih bisa memasang muka datarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You, Es Jeyuk ✔️
FanfictionSetelah melewati kejombloan lima tahun usai menjadi Sarjana Ekonomi Syari'ah, aku mendapatkan jodohku melalui cara yang tak biasa. *** Hari-hariku dipepenuhi dengan pertanyaan "Kapan nikah?". Selama lima tahun pula aku hanya menjawab tanpa kepastia...