SETELAH shalat, Ayah Robi mengajakku makan malam bersama di sebuah restaurant berbasis warung tradisional. Kini di sebuah meja hanya ada Ayah Robi dan aku, sedangkan Nasha baru saja pamit ke kamar mandi pada Ayah. Makanya sedari tadi aku belum bertemu Nasha.
Ayah Robi melihatku setelah memainkan ponselnya cukup lama, sedangkan aku membaca buku berisi resep masakan dari restaurant ini.
“Mau pesen apa?” Ayah menawari.
Aku menurunkan bukuku dan menutupnya namun diberi batas dengan jari telunjukku. Aku tersenyum tipis.
“Tunggu Nasha dulu, Yah.”
“Oh, gitu. Oke, deh.” Ayah mengangguk lalu kembali fokus ke ponselnya, dan aku kembali membaca deretan resep masakan yang tersedia. Siapa tahu ada resep kue baru untuk jualanku.
Tidak lama kemudian Nasha datang sambil mengucapkan salam dan duduk di samping Ayah. Aku melihatnya maklum. Mungkin saja ia masih canggung bertemu denganku setelah apa yang terjadi. Dan aku mencoba berpikir positif. Nasha menunduk, mungkin masih malu denganku.
“Mas Azmi?” sapanya sambil mengangkat kepala. Ayah meletakkan ponselnya dan kembali fokus pada tujuan pertemuan ini.
“Hai,” sapaku sambil tersenyum. Senyuman ini seperti senyuman untuk orang asing atau lama tidak bertemu karena memang itulah yang terjadi. Aku lama tidak bertemu dengan Nasha dan ini wajar saja.
Nasha tampak membulatkan mata ragu, kemudian menatap Ayah. Yang ditatap hanya tersenyum kecil sambil mengedikkan bahu.
“Sudah lama tidak berjumpa. Bagaimana kabarmu?” Aku kembali berkata dengan kata baku. Sedikit kaku, sih, tapi bukan masalah.
Nasha justru malah tampak terkejut dengan perkataanku. Memang, aku tidak pernah berkata seperti ini padanya, karena aku selalu berkata so sweet. Tapi beda lagi dengan kini.
Aku sedikit memutar kepala—seperti membuang muka—dan tersenyum jahil. Sepertinya ini menjadi prank yang tidak disengaja, tapi dapat dikembangkan.
“Kabarku baik,” jawab Nasha santai. Seakan ia mengikuti permainanku, dan aku semakin suka.
“Senang betemu denganmu lagi,” lanjutnya tetap dengan formalitas yang tinggi.
“Aku juga.” Aku tersenyum ramah, seakan Nasha rekan kerjaku dan kami akan melakukan kerja sama.
Ayah Robi terkekeh melihat sandiwara kami. Aku tersenyum simpul dan kembali fokus pada Nasha. Nasha melihat singkat, lalu berdehem. Jangan lupakan formalitas!
“Kalian ini temu kangen atau sedang bersandiwara?” tanya Ayah seraya menekankan kata yang dicetak miring.
“Aku tidak bersandiwara, Ayah. Aku hanya mengikuti permainan. Sepertinya seru,” balas Nasha seperti menyindirku, tapi tak mempan sama sekali. Aku bahkan tersenyum ramah seolah tak terjadi apa-apa.
Ayah mendengus.
“Dasar, perempuan! Sukanya bikin cerita, sekali dijawab ceritanya malah bikin baru,” gerutu Ayah terasa berat. Aku tertawa lebar. Nasha mendelik malas, tak terlalu mengubris perkataan Ayah.
Detik kemudian, hening kembali. Aku melihat Nasha yang membuang muka. Aku pun melihat Ayah kembali sibuk pada ponselnya. Dan aku justru teringat buku resep milik restaurant ini.
Aku menghela napas berat. Ayo, Azmi, fokus! Fokus pada tujuan awal! Jangan memikirkan hal lain!
“Dari mana saja kau?” tanyaku dengan nada mulai serius. Aku sendiri sedikit kaget, karena ternyata aku bisa serius. Ah, bukannya aku dari dulu memang begini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You, Es Jeyuk ✔️
FanfictionSetelah melewati kejombloan lima tahun usai menjadi Sarjana Ekonomi Syari'ah, aku mendapatkan jodohku melalui cara yang tak biasa. *** Hari-hariku dipepenuhi dengan pertanyaan "Kapan nikah?". Selama lima tahun pula aku hanya menjawab tanpa kepastia...