"Thanks ya udah mau jemput," kata Tatjana kepada Dexa, sepupunya.
"No problem. Thanks juga karena udah nemenin gue ketemu klien," jawab Dexa. Tatjana tersenyum dan mengangkat kedua ibu jarinya.
Beberapa jam yang lalu, saat Anjas menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, tiba-tiba saja Dexa menghubunginya dan mengatakan kalau ingin membawanya bertemu salah satu klien bisnisnya.
Dengan cepat, Tatjana menerima tawaran itu karena bagaimanapun, ia tidak ingin pulang bersama dengan Anjas yang sejak pertama bertemu selalu menatap payudaranya.
"Itu tadi gimana pacar lo? Dia pasti marah," kata Dexa sambil tertawa. Ia tidak habis pikir dengan adik sepupunya ini karena mengatakan hal seperti itu melalui telepon.
Tatjana mendengus. "Itu bukan pacar gue. Itu orang gay. Biarin aja. Dia sih ngeselin. Emangnya dia siapa mau ngatur-ngatur?" Tanya Tatjana. "Masuk dulu yuk Kak."
Dexa mengangguk dan mereka keluar dari mobil. Mereka berjalan dengan santai sambil menaiki tangga untuk mencapai pintu utama rumah yang sangat besar ini.
φ
“ Raden Mas..” Derish menoleh ke arah ibunya yang sudah kembali ke ruang tengah setelah mengantar ayahnya. “Bapak sudah pulang.”
Araya duduk di sebelah putranya dan Derish berkata, “Maaf, Bu. Derish membuat Ibu sedih.”
Araya menghapus air matanya dan menggelengkan kepala. “Ndak, Mas. Ibu ndak apa-apa.”
Derish meraih tangan ibunya lalu diletakannya tangan itu ke pipinya. Sudah delapan belas tahun ibunya berada di sini dan tidak pernah pulang ke Balwanadanawa karena keinginan ayahnya. Sejak pertama kali meninggalkan Balawanadanawa, ibunya tidak pernah lagi pulang ke sana, walaupun ia tahu ibunya merindukan tanah kelahirannya.
“Ibu yang seharusnya minta maaf dengan kamu, Mas. Ibu membuat kehidupan kamu menjadi seperti ini. Seharusnya, kamu ikuti keinginan Bapakmu untuk tinggal di Kadhaton Balwanadanawa.”
“Dan membuat Ibu sendirian di tempat ini?” tanya Derish. “Bu, Derish ndak pernah menyesal sudah lahir dari rahim Ibu. Menjadi anak Ibu adalah kebahagiaan terbesar Derish.”
Araya menundukkan kepalanya lalu Derish menyentuh pipi ibunya, membuat Araya kembali menatapnya. Ia ingin melihat ibunya menangis. Ia ingin menghapus air mata ibunya karena selama ini, ibunya tidak pernah mengizinkannya untuk melihat tangisan itu.
“Maafkan Ibu, Mas. Maafkan Ibu..” ucap Araya dengan suara bergetar sambil mencium tangan Derish yang berada dai pipinya. Ia menatap wajah anaknya dan merasa sudah saatnya ia menceritakan semuanya.
“Dulu, Ibu merasa kalau Ibu adalah wanita yang paling sempurna ketika dijodohkan dengan Bapak. Ibu benar-benar memimpikan pernikahan yang bahagia dan memiliki anak untuk meneruskan keturunan Bapakmu..”
“…”
“Tapi setelah lima tahun menikah, Ibu belum bisa memberikan keturunan untuk Bapak dan saat itu Bapak bertemu dengan Sekar, gadis yang merupakan cinta pertamanya. Ibu tidak bisa melakukan apapun saat Bapak membawanya dan mengatakan akan menikahinya untuk mendapatkan keturunan karena pada saat itu, Nenekmu mulai memaksa Bapak untuk menikah lagi.”
“…”
“Hati Ibu sakit, Mas. Tapi Ibu tidak bisa melarangnya karena terlalu mencintai Bapak. Ibu tahu kalau Bapak membutuhkan keturunan. Semua keluarga dan tetua setuju dengan pernikahan itu karena alasan Ibu yang tidak bisa memiliki anak.”
“…”
“Lalu, seminggu sebelum pernikahan Bapak dengan Sekar, Ibu mendapatkan kamu, Mas.. Ibu hamil. Bapak sangat bahagia, Ibu tahu itu. tapi pernikahan itu tidak dapat dibatalkan karena keluarga Sekar pasti akan malu. Akhirnya, Bapak memutuskan untuk tetap menikahi Sekar dan merahasiakan kehamilan Ibu.”
“Saat melahirkan kamu, Bapak meminta Ibu untuk memberikan kamu kepada Sekar untuk dirawat karena ternyata selama Ibu disembunyikan, Bapak dan Sekar membuat berita kalau Sekar sudah hamil dan akan melahirkan. Kamu akan menjadi anak mereka di mata semua orang.”
“Bu..” kata Derish.
“Lagi-lagi Ibu tidak bisa melakukan apapun, Mas. Ibu harus menurutinya dan Bapak berjanji kalau Ibu boleh melihatmu ketika ibu memberikan ASI untuk kamu. Lalu, setelah usia kamu dua tahun, Bapak meminta Ibu untuk meninggalkan payon omah.”
“Kenapa Bapak membuang Ibu?” tanya Derish.
Ia tidak pernah tahu alasan mengapa ibunya dipindahkan ke sini padahal, Kadhaton Balwanadanawa memiliki peraturan bahwa istri pertama adalah satu-satunya istri yang sah.
Araya tersenyum. “Kamu mungkin tidak akan mempercayainya. Walaupun Bapak tidak pernah mengatakannya, tapi Ibu tahu alasan Bapak meminta Ibu pergi adalah karena dia tidak mau melihat Ibu menderita, Mas.”
“…”
“Di mata semua orang, Ibu adalah istri yang mandul walaupun Ibu sebenarnya sudah memiliki kamu. sementara Sekar, yang semua orang tahu adalah, dia sudah memiliki putra, kamu, anak Ibu. Tingkatan Ibu jauh lebih rendah daripada Sekar walaupun Ibu adalah istri sahnya. Di tambah lagi, sekarang Sekar sudah memiliki dua putranya sendiri.”
“Kalau Bapak mencintai Ibu, Bapak tidak akan menikahi orang lain,” jawab Derish dengan suara rendah.
“Semuanya rumit, Mas. Kerajaan selalu memiliki peraturan sendiri dan tidak hanya tentang cinta.”
Derish memeluk ibunya dan memejamkan matanya. Sejak kecil, dia diminta oleh ayahnya untuk memanggil wanita lain sebagai ibunya dan hanya bertemu dengan ibunya sendiri sebulan sekali di rumah ini. Saat ia masih kecil, ia tidak tahu tentang alasan mengapa ayahnya meminta dirinya untuk melakukan semua itu. Ia tidak punya pemahaman apapun untuk melawan keinginan ayahnya.
Barulah saat ia berusia tujuh belas, saat ia tahu semua kebenarannya, ia mengatakan segalanya ke hadapan Eyangnya bahwa ia bukan anak dari wanita yang selama ini ia panggil ibu. Lalu, ia membuat keputusan lain dengan meninggalkan Balwanadanawa dan tinggal bersama ibu kandungnya.
“Setelah kamu mengatakan segalanya, bahwa kamu adalah anak Ibu, semua pandangan orang berubah, Mas. Secara otomatis Sekar kehilangan haknya. Karena Ibu, istri pertama Bapak sudah memiliki anak. Kamu lah yang paling berhak mendapatkan segala yang Bapak miliki, dan kamu lah yang harus meneruskan takhta.”
“Istri pertama adalah istri sah sementara pernikahan yang lain tidak bisa melebihi pernikahan pertama. Pernikahan kedua akan menjadi sah ketika pernikahan pertama tidak bisa menghasilkan keturunan," lanjut Araya.
“Kenapa Ibu tidak mau kembali ke Kadhaton Balwanadanawa? Karena kalau Derish berhak meneruskan takhta, berarti Ibu adalah yang paling tepat untuk mendampingi Bapak.”
Araya melepaskan pelukannya dan mengelus rambut putranya. “Ibu sama sekali tidak menginginkannya lagi, Raden Mas.”
“Ibu tidak dendam karena Bapak memperlakukan Ibu seperti ini?” tanya Derish karena setiap kali ayahnya ke rumah ini, ibunya selalu menyambut ayahnya dengan baik.
Araya diam dan sesaat Derish melihat tatapan lembut di mata ibunya yang berlinangan air mata.
“Satu-satunya hal yang membuat Ibu bahagia adalah keputusan Bapak yang membawa Ibu ke Bogor. Ibu tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Ibu ketika harus melihat kamu memanggil Sekar dengan sebutan Ibu dan memanggil Ibu dengan sebutan lain. Bapak sudah membebaskan Ibu dari semua penderitaan itu. Dan sekarang, kamu ada dengan Ibu. Ibu sama sekali tidak menginginkan apapun lagi.”
φ
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Bouquet
Historical Fiction#1 Historicalfiction (19/06/2021) Disclaimer: Kerajaan, adat dan semua yang ada di dalam cerita ini murni hanyalah imajinasi dari penulis dan tidak bermaksud menyinggung pihak mana pun. φ Blurb: "Tapi untung juga sih lo cuma seorang pangeran, bu...