Derish sama sekali tidak bisa menemukan Tatjana hingga ia menyelesaikan seluruh upacara yang ia lakukan di tepi sungai. Saat waktu menunjukkan pukul dua belas, saat itulah ia menemukan Tatjana yang sedang bercerita dengan kedua adik tirinya.
Tubuhnya basah hingga paha karena ia harus melakukan beberapa hal di dalam air. Namun, ia sama sekali tidak merasa kedinginan karena sekarang ia melihat wanita yang ingin ia temui.
Ia berdeham. “Dimas, bukannya kalian harus membantu Gusti Raden Ajeng Nariah memberikan kue kepada seluruh orang yang hadir?”
Wajah Aghiya dan Ajinata berubah murung karena kedatangan sang kakak yang mengganggu mereka. Namun, mereka tidak bisa mengabaikan tugas ini karena memang mereka harus membagikan berbagai jenis kue kepada semua warga.
“Mereka lucu banget,” kata Tatjana setelah dua orang itu pergi. “Sudah selesai acaranya?”
Derish mengangguk. Sekarang semua orang hanya menikmati tepi sungai dan para tetua sedang berbicara dengan sang Raja di salah satu sisi sungai yang sudah diletakkan kursi-kursi.
“Lo bener-bener ngisi kolam istana dengan air dari sungai ini?” tanya Tatjana yang tiba-tiba teringat akan hal itu. Seharusnya Derish sekarang sangat kelelahan jika ia memang mengisi kolam itu dengan tangannya sendiri. Tapi Derish justru terlihat biasa saja.
“Iya. Gue yang mengisi air kolam itu dengan tangan gue sendiri. Lo tahu kenapa?” tanya Derish lalu ia menatap wajah Tatjana. Sudah hampir satu minggu ia tidak melihat rambut itu terurai seperti ini.
“Kenapa?” tanya Tatjana bingung.
“Karena itu adalah simbol bahwa gue bisa membawa rakyat ke kehidupan yang lebih baik. Mereka akan menggunakan air yang gue isi dari sungai ini untuk mencuci tangan, dengan harapan bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik di tahun depan.”
Sekarang, Tatjana bisa merasakan betapa besar tanggung jawab Derish terhadap kerajaan dan semua rakyatnya. “Tapi kan itu bisa membuat lo capek. Apalagi katanya lo puasa.”
“Lo mengkhawatirkan gue, Ta?”
“Enak aja,” jawab Tatjana cepat. “Gue tuh cuma mikir. Prince George gak pernah mengisi air di kolam Buckingham Palace dari sungai manapun. Seharusnya pangeran itu gak boleh capek.”
“Ta, pangeran itu harus melayani rakyatnya. Bukan dilayani oleh rakyatnya.”
Tatjana terdiam karena mendengar jawaban itu. Ia melihat ke sekelilingnya dan mendapati beberapa anggota kerajaan yang sedang berbincang dengan orang-orang, seolah menyambut mereka semua. Ia sedikit terkejut ketika tiba-tiba tangan kanannya digenggam oleh Derish yang berada di sebelahnya.
“Lo sudah menerima cinta gue kan, Ta?” tanya Derish. “Sekarang lo harus ikut gue.”
Seperti orang bodoh, Tatjana hanya diam sambil mengikuti Derish yang menariknya dengan lembut. Sekarang mata semua orang menatap mereka namun Derish terlihat tidak peduli.
Sejujurnya, Tatjana tidak pernah malu jika ia menjadi pusat perhatian karena sejak lahir, ia memang sudah menarik perhatian semua orang. Namun, sekarang, ia sangat gugup. Ia sangat gugup ketika harus berjalan di belakang seorang pangeran mahkota karena sekarang Tatjana hanya melihat sosok pangeran mahkota yang sangat gagah, bukan Derish yang biasa ia kenal.
Bukan anak buahnya yang harus mengangkat koper miliknya setiap kali mereka tiba di bandara.
Ia sangat gugup ketika tangan Derish menggenggamnya dan membawanya ke tujuan yang tidak ia ketahui. Ia sangat gugup ketika dirinya hanya bisa memandangi punggung kekar Derish yang terlihat sangat kokoh dan percaya diri dan karena itu, ia hanya menundukkan kepala, mengikuti ke manapun Derish akan membawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Bouquet
Historical Fiction#1 Historicalfiction (19/06/2021) Disclaimer: Kerajaan, adat dan semua yang ada di dalam cerita ini murni hanyalah imajinasi dari penulis dan tidak bermaksud menyinggung pihak mana pun. φ Blurb: "Tapi untung juga sih lo cuma seorang pangeran, bu...