BAB 28

1.1K 174 7
                                    

"Kalau gue harus memulai, gue akan pilih metode crowdfunding," kata Tatjana sambil menutup laptop milik Derish yang ia gunakan untuk menyicil tugas dari profesor Gerald tentang Startup Business.

Dengan sabar, Derish kembali membuka laptop itu. Sudah lebih dari tiga kali Tatjana menutup dan ia bertugas untuk membukanya kembali. Wanita ini sama sekali tidak berniat untuk menyelesaikan jurnal yang harus ia selesaikan. Namun, seperti biasa, Derish dengan sabar mengajarinya.

Hari ini, Tatjana terlihat sudah lebih sehat dan suhu tubuhnya sudah kembali normal.

"Metode pitching bakal lebih banyak ngasih lo keuntungan," jawab Derish setelah Tatjana tidak lagi mencoba untuk menutup laptop malang itu.

"Itu buat orang yang gak punya keluarga kaya. Kan bokap gue kaya raya. Kakek gue juga bisa mendanai semuanya. Ngapain gue susah-susah ikut kompetisi?" tanya Tatjana.

"Tapi kompetisi bisa menarik investor dan orang-orang bisa kenal sama bisnis lo."

Tatjana mendengus dan menutup laptop Malang itu dengan keras. "Siapa yang gak kenal gue? Gue ini cucu Douglas Suwaryono. Semua orang pasti pernah mengkonsumsi produk keluarga gue, tahu?"

Kemudian, Tatjana menatap jendela kamar Derish yang menghadap ke arah timur. Sekarang sudah pukul dua sore dan langit sangat biru. "Dua hari lagi acara kerajaan lo dimulai ya?"

"Mungkin gue bakalan sibuk, Ta. Besok lo harus ke payon omah Dhami."

Tanpa di sadari, bibir Tatjana cemberut. Namun, yang keluar dari mulutnya justru kata-kata ini, "Lebih baik gue di Dhami daripada terkurung di sini. Gue udah kayak cewek simpenan lo aja."

Padahal, Tatjana sangat senang ketika ia memiliki banyak waktu dengan sang pangeran mahkota.

φ

Dua hari kemudian, suasana di istana benar-benar berubah. Halaman istana yang sangat luas sudah disulap menjadi tempat yang sangat indah, kolam di tengah taman sudah dihias dengan lampu-lampu dan pasti akan lebih indah jika malam hari telah tiba.
Pintu gerbang istana yang biasanya tertutup kini terbuka lebar, mempersilakan masyarakat untuk melihat dan menyaksikan bagian dalam istana yang hanya dibuka setiap tahun baru seperti ini. Senyuman indah melengkung di bibir setiap masyarakat yang memasuki Kadhaton Balwanadanawa karena terpukau akan pesonanya yang juga Tatjana rasakan sejak pertama kali menginjakkan kakinya di sini.

"Iya, kalian sangat indah," gumam Tatjana ketika semilir angin menerpa wajahnya. Hembusan itu seolah menyapanya.

Ia berjalan sambil membawa nampan yang berisi aneka makanan. Kondisi tubuhnya sudah membaik dan ia memutuskan untuk membantu persiapan upacara tahun baru daripada hanya diam di Payon Omah Dhami.

Saat ia sedang berjalan, tiba-tiba langkahnya terhenti ketika ia berhadapan dengan Gusti Raden Ajeng Nariah, bersama dua orang remaja laki-laki. Ia menundukkan kepalanya, karena bagaimanapun, ia sudah belajar tata krama dengan Wahyuni dan tidak ada alasan baginya untuk tidak menghormati sang putri raja.

Ia ingat kalau Wahyuni pernah mengatakan kepadanya jika sedang berhadapan dengan keluarga kerajaan, maka ia harus menunduk dan mempersilakan mereka berjalan terlebih dahulu.

Nariah tidak mengatakan apapun dan berjalan meninggalkannya, membuatnya mendengus kesal.
Saat ia merasa kalau sang putri sudah melewatinya, ia mengangkat kepalanya dan bingung ketika melihat dua orang laki-laki yang tadi ia lihat bersama Nariah masih berdiri di hadapannya.

"Halo," kata salah satu dari mereka yang sepertinya lebih muda. "Ajeng menyapa Yang Mulia Raja seperti itu kan?"

"Ajeng pasti Ajeng Tatjana kan?" tanya laki-laki yang lain.

Tatjana tersenyum dan berpikir, siapakah mereka berdua? Saat ia sedang berusaha berpikir, Nariah kembali ke hadapannya dan menatap dua laki-laki itu.

"Dimas, kalian tidak mengukuti Mbakyu?" tanyanya. Dengan cepat, Tatjana tahu siapa dua laki-laki ini. Mereka pasti adik tiri Derish.

"Mbakyu, kita mau ngobrol dulu sama Ajeng Tatjana, ya?" kata lelaki yang lebih muda.

Sekarang Nariah beralih menatap Tatjana dengan senyuman. Namun, Tatjana dapat merasakan tatapan tidak suka tersirat dari wajah itu. Ia tidak mengerti, mengapa sejak pertama bertemu, sang putri terlihat tidak menyukainya?

"Kalau begitu, Mbakyu pergi dulu," katanya lalu berjalan meninggalkan mereka.

"Ajeng Tatjana enak bisa bicara dengan Yang Mulia Raja seperti itu. Kalau kita, pasti sudah dilempar ke kandang kuda. Oh iya, saya Raden Aghiya. Ini adik saya, Raden Ajinata."

"Kulo juga sangat takut kalau nanti harus dilempar ke kandang kuda," jawab Tatjana dan langsung disambut dengan gelak tawa dari kedua pangeran.

Raden Ajeng Nariah mendengar betapa antusiasnya Raden Aghiya dan Raden Ajinata saat bertemu dengan Tatjana. Ia memejamkan matanya dan kembali melanjutkan langkah.

φ

The Perfect BouquetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang