Lima tahun yang lalu..
Hari itu, Balwanadanawa sedang mempersiapkan sebuah acara untuk memperingati hari ulang tahun seorang pangeran yang ke tujuh belas. Menurut adat Balwanadanawa, tujuh belas adalah usia dimana seseorang terlahir kembali. Terlahir sebagai sosok baru dan terlahir sebagai seseorang yang mengawali kehidupan dewasanya. Masyarakat di Balwanadanawa percaya kalau usia tujuh belas adalah awal dari perjalanan hidup yang sesungguhnya.
Di dalam kerajaan, sang pangeran sedang dipersiapkan untuk mengikuti upacara hari kelahirannya. Ia harus mandi di sungai tepat setelah sinar matahari pagi menyentuh pucuk daun dan permukaan tanah yang ada di Kadhaton Balwanadanawa. Ia sudah siap dengan perlengkapannya untuk mandi dan akan berjalan ke sungai bersama para tetua dan keluarganya ketika ia mendengar sebuah pembicaraan.
"Mas, Raden Ayu Araya tidak boleh datang ke upacara hari ini. Bagaimana kalau Raden Mas mengetahui semuanya?" tanya Sekar kepada suaminya.
Sang pangeran mengerutkan keningnya. Ia tahu siapa Raden Ayu Araya. Dia adalah salah satu dayang istana yang diberikan kebebasan oleh raja. Sang pangeran sangat menyukai Raden Ayu Araya dan setiap libur sekolah, ia pasti akan dipersilakan untuk mengunjungi rumah dayang tersebut yang terletak di Bogor.
Mengapa Raden Ayu Araya tidak boleh datang? Mengapa ibunya tidak ingin Araya menemuinya di acara besarnya ini?
"Sekar," panggil ayahnya dengan suara berwibawa. "Araya ingin melihat Raden Mas menyelesaikan upacaranya."
"Tidak, Kang mas. Saya tidak akan pernah mengizinkannya datang lagi. Dia sudah pergi selama lima belas tahun dan tidak boleh datang ke sini lagi."
"Dia adalah Ibu kandung Raden Mas, Sekar. Kita sudah terlalu banyak mengambil kebahagiaannya. Upacara hari ini harus dihadiri oleh Ibu kandung Raden Mas sendiri," jawab ayahnya.
Kening sang pangeran berkerut. Apa yang sedang dibicarakan oleh kedua orangtuanya? Siapa ibu kandungnya?
"Saya adalah Ibu kandungnya, Mas. Saya yang membesarkan Raden Mas dengan penuh cinta." Sang pangeran tahu kalau sekarang ibunya pasti sedang menangis.
Sesaat, ia ingin berlari ke arah ibunya dan memeluknya. Ia tidak bisa membiarkan ibunya bersedih seperti ini. Namun, ada banyak hal yang membuatnya tetap berdiri. Kenyataan bahwa ibu yang ia anggap sebagai ibu kandungnya ternyata bukanlah ibu kandungnya membuatnya terdiam.
"Sekar. Kamu bukan wanita yang melahirkan Raden Mas," kata ayahnya lagi. "Aku harus membawa Araya sebelum Raden Mas menyelesaikan upacaranya siang ini."
Semuanya cukup bagi sang pangeran untuk mengetahui kebenarannya. Ia menarik dan menghembuskan napas, mencoba untuk menyerap semua kebenaran yang baru saja ia dengar. Di belakangnya, Elijah, ajudan pribadinya menunggunya. Ia menatap Elijah dan Elijah menundukkan pandangan.
"Raden Mas, kita harus bersiap untuk pergi ke sungai. Kuda sudah menunggu di depan," kata Elijah yang tidak bisa memungkiri kalau sebenarnya, ia sudah mengetahui semua ini.
Sebenarnya, bisa saja ia mencegah sang pangeran mahkota untuk mendengar percakapan Adipati Kala dan Raden Ayu Sekar. Namun, ia merasa kalau sang pangeran berhak tahu dan tidak bisa melakukan apapun ketika sang pangeran sudah mendengar lebih dari separuh percakapan ini. Ia tidak berani menaikkan pandangannya karena tahu kalau pangerannya sedang terluka.
"Elijah, bertahun-tahun saya mendengar cerita dari Eyang Putri kalau usia tujuh belas adalah awal dari kehidupan yang sebenarnya. Sepertinya, Eyang Putri tidak pernah salah," kata sang pangeran.
"Raden Mas," jawab Elijah. "Maafkan kulo, Raden Mas.."
Sang pangeran hanya diam dan berjalan untuk menemui semua orang yang sudah menunggunya di depan. Pada setiap langkah yang dia ambil, ia sadar kalau dirinya semakin dekat dengan kehidupan baru yang harus ia hadapi. Ketika menuruni tangga, ia melihat eyang putri-nya yang sudah duduk di dalam kereta kuda dan tersenyum ke arahnya. Ketika melihat senyuman itu, ia tahu kalau semuanya harus segera di akhiri.
"Eyang," panggilnya ketika ia berada di depan kereta kuda milik eyangnya. "Eyang, kulo tidak bisa melakukan semua ini."
Kening eyang-nya berkerut. "Ada yang salah, Raden Mas?"
Sang pangeran mengambil kedua tangan Gusti Agung Ningsih dan menciumnya. "Kulo tidak bisa melanjutkan upacara ini karena Ibu kandung kulo tidak berada di sini, Eyang. Tidak ada yang bisa menyuapi nasi kepada kulo untuk menyelesaikan upacara ini."
Pada saat itu, Raden Ayu Sekar menuruni tangga dan Gusti Ratu Agung Ningsih menatapnya. "Ibumu sedang menuruni tangga, Raden Mas."
Pada saat itu, sang pangeran tahu kalau eyang-nya juga tidak tahu apa-apa. Ia menoleh dan menatap ibunya yang tersenyum ke arahnya lalu menatap ayahnya yang tidak berada jauh dari ibunya. Entah mengapa, ia sangat membenci ayahnya karena menyembunyikan semua ini. Sekali lagi, ia menatap wajah eyang-nya yang sudah keriput namun tetap cantik dengan kebaya putih dan bunga melati yang diselipkan di antara sanggulannya.
"Ibu Sekar bukan Ibu kandung kulo, Eyang. Kulo ndak bisa tinggal lebih lama di sini. Kulo ndak bisa melanjutkan upacara ini. Kulo akan keluar dari istana ini dan tinggal bersama Ibu kandung kulo, Eyang."
"Apa maksudmu, Raden Mas?" tanya Ningsih tidak mengerti.
"Raden Ayu Araya adalah Ibu kandung kulo dan kulo ndak bisa lagi tinggal di sini."
Wajah Ningsih berubah menjadi semakin bingung. Ia menatap Adipati Kala, anak bungsunya dan berkata, "apa benar semua ini, Kala? Apakah istri pertamamu adalah Ibu kandung dari Raden Mas?"
Kemudian, sang pangeran tidak dapat berkata apa-apa lagi ketika mengetahui kalau dayang yang selalu ia kunjungi setiap libur sekolah—ibu kandungnya—adalah istri pertama dari ayahnya sendiri.
Dan pada hari itu, upacara peringatan ulang tahun pangeran yang ke tujuh belas tidak pernah dilaksanakan dan pada hari itu juga, pangeran meninggalkan istana untuk tinggal bersama ibunya. Ibu kandungnya.
**
*Bersambung*
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Bouquet
Ficção Histórica#1 Historicalfiction (19/06/2021) Disclaimer: Kerajaan, adat dan semua yang ada di dalam cerita ini murni hanyalah imajinasi dari penulis dan tidak bermaksud menyinggung pihak mana pun. φ Blurb: "Tapi untung juga sih lo cuma seorang pangeran, bu...