BAB 40

1K 178 6
                                    

Sekarang Tatjana berada di sebuah kebun tanaman herbal, ia menawarkan diri kepada seorang dayang agar dirinya yang mengambil beberapa herbal dari kebun. Urusan tanaman herbal, Tatjana cukup mengetahui beberapa jenisnya karena neneknya juga gemar menanam tanaman herbal.

Ia membawa sebuah bakul dari anyaman dan meletakkannya di sebuah batu lalu mulai memetik daun-daun yang dibutuhkan. Ternyata datang ke sini membuat dirinya menjadi tenang. Ia tidak pernah datang ke kebun ini dan karena itu, sesaat ia lupa kalau dirinya berada di dalam istana.

Tempat ini terletak di ujung istana dan sama sekali tidak terdapat bangunan apapun. Ia hanya merasa kalau dirinya berada di sebuah lapangan luas tanpa ujung.

Diletakkannya daun-daun yang sudah ia petik ke dalam bakul dan duduk di sebuah batu lalu menatap ke sekelilingnya, tidak ada siapa-siapa di sini. Tiba-tiba ia terpikir akan keadaan Derish. Bagaimana keadaannya sekarang?

"Enggak, enggak," gumamnya sambil menepuk-nepuk kepala dan menggelengkannya.

Ia tidak bisa memikirkan Derish sekarang. Jika ia terus memikirkannya, ia pasti akan menelepon lelaki itu. Apa yang ia lakukan sampai sekarang sudah benar.

"Mbakyu!" teriakan itu membuat Tatjana terpelanjat karena seingatnya, tidak ada siapapun di kebun ini. Cepat-cepat ia menoleh dan mendapati Raden Aghiya yang berlari ke arahnya.

"Raden Aghiya?" kata Tatjana bingung.

"Mbakyu ngapain ke sini?" tanya Aghiya dengan napas yang terputus-putus karena ia berlari dengan sangat kencang.

Ia memang biasa berada di sekitar sini karena ia memiliki sebuah pohon yang biasanya menjadi tempatnya tidur jika ia tidak sekolah. Dan karena hari ini gerbang istana di tutup, maka ia menghabiskan siangnya di pohon itu. Lalu ia melihat Tatjana yang duduk sendirian di kebuh tanaman herbal.

"Kulo harus mengambil beberapa tanaman obat," jawab Tatjana sopan, membuat Aghiya memelototkan matanya. Ia bingung mengapa Tatjana tiba-tiba berubah seperti ini padahal, satu minggu yang lalu, saat malam tahun baru. Ia masih bicara dengan Tatjana yang biasa.

"Kenapa Mbakyu ngomongnya seperti itu? Padahal saya lebih suka Mbakyu yang dulu. Apa karena Mbakyu sudah jadi tunangan Kangmas, jadi Mbakyu Nariah menyuruh Mbakyu Tatjana untuk bicara sopan?"

Tatjana tertawa karena melihat wajah Aghiya yang kebingungan. Remaja ini pasti tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi selama seminggu terakhir. "Kulo benar-benar tidak mau dilempar ke kandang kuda, Raden."

Aghiya ikut tertawa lalu menjawab, "Padahal saya berharap bisa melihat Mbakyu yang seperti kemarin."

"Apa Raden Aghiya tidak berkumpul ke Kadhaton Utama? Keadaan Yang Mulia sedang kritis, seharusnya Raden berada di sana kan?"

"Kalau keadaan Yang Mulia sudah sangat parah seperti ini, hanya tiga orang yang bisa masuk ke kamarnya," kata Aghiya dengan wajah lucu yang mulai berubah menjadi dewasa miliknya. Ia mengacungkan tiga jarinya ke hadapan Tatjana.

"Pertama Yang Mulia Ratu, kedua Mbakyu Nariah, dan ketiga, Kangmas Tarendra," katanya. "Sudah. Hanya itu. Yang lain tidak boleh masuk. Oh iya, tabib Istana juga boleh masuk untuk memberi obat."

Tatjana mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Berarti sekarang Derish sedang berada di sebelah Yang Mulia Raja. "Lalu keluarga yang lain?"

"Eyang putri bisa memilih, apakah Eyang akan menemani Yang Mulia atau akan berdoa dan Eyang memilih untuk berdoa lalu mengalirkan bunga di sungai. Ibu, Ibu Araya, Bapak dan keluarga lainnya juga harus mengikuti Eyang. Berdoa dan mengalirkan bunga."

"Lalu kenapa Raden Aghiya berada di sini, bukannya di sungai untuk mengalirkan bunga?"

Sang pangeran yang tadinya terlihat santai tiba-tiba membulatkan mata sambil menatap Tatjana, seolah tertangkap basah melakukan kejahatan. "Saya ndak kabur!"

Bukannya takut, Tatjana justru tertawa mendengar kata-kata Aghiya. Padahal ia sama sekali tidak berpikir kalau sang pangeran sedang melarikan diri. Ekspresi wajahnya juga sama sekali tidak membantu karena hanya dengan menatap wajahnya saja, semua orang sudah tahu kalau ia sedang berbohong meskipun tidak mendengar cerita apapun.

"Mana bisa kulo menuduh Raden Aghiya kabur?" tanya Tatjana.

Aghiya menghembuskan napasnya kesal karena tidak suka dengan perubahan sikap tunangan Kangmas-nya ini. Ia tidak suka ketika Tatjana mulai terlihat sama dengan orang-orang yang ada di sini. Ia tidak suka ketika orang lain terlalu menghormatinya, padahal ia hanyalah anak kecil yang ingin bicara santai seperti teman-temannya di sekolah.

Tidak, bahkan teman-temannya bicara sangat sopan kepadanya. Bahkan ia hampir tidak memiliki teman karena mereka begitu menghormatinya. Padahal mereka sebaya, dan Aghiya juga ingin bermain bola tanpa merasa diistimewakan. Bukan bermain bola seperti hanya dirinya yang bermain tanpa ada yang berani menyerangnya.

"Mbakyu, saya ndak suka dengan sikap Mbakyu sekarang. Apa Kangmas juga meminta Mbakyu berubah? Asal Mbakyu tahu, di Denawa, Kangmas seperti seorang bayi. Dia bahkan sering main pukul banatal dengan kita. Jadi, Mbakyu ndak perlu mengikuti kata-katanya," kata Aghiya.

Derish memang bersikap selayaknya seorang kakak jika sedang bersama dengan adik-adiknya, membuat adik-adiknya merasa nyaman dan terkadang lupa kalau Kangmas mereka adalah calon raja.

Tatjana berpikir beberapa saat. Sekarang ia merasa jauh lebih bebas dan bisa tersenyum dan itu karena kehadiran Aghiya. Maka dari itu, ia menganggukkan kepalanya untuk menyetujui perkataan Aghiya.

"Apa kamu tahu? Kangmas kamu itu adalah supir aku," kata Tatjana membuat Aghiya merasa senang. Akhirnya Mbakyu-nya kembali. "Dia sangat kuno dan menyebalkan."

"Betul, Kangmas sangat kuno. Dia bahkan ndak pernah melanggar peraturan istana dan dia sangat hapal buku tata krama, saya dan Dimas Ajinata sempat berpikir kalau Kangmas mungkin meminum abu buku tebal itu sampai dia sangat hapal semuanya."

Mereka lalu mebali tertawa. "Tapi kenapa kamu gak ke tepi sungai?"

"Saya sudah berdoa dan mengalirkan bunga setiap hari untuk Yang Mulia Raja, Mbakyu. Jadi, sekarang saya bisa pergi karena jumlah bunga yang saya alirkan untuk keselamatan Yang Mulia sudah sangat banyak. Saya juga yakin kalau Yang Mulia akan segera sembuh."

"Kalau aku mau berdoa, bisa? Apa ada gereja di sekitar sini?" tanya Tatjana.

"Gereja di dalam istana letaknya sangat dekat dengan Kadhaton Utama, dan pasti sangat sesek karena semua orang di dalam istana sedang berdoa di sana. Mbakyu mau berdoa di gereja lain dengan nyaman?" tanya Aghiya.

Tatjana mengerutkan keningnya. Jika hanya ada satu gereja di istana ini, maka ia harus pergi ke sana karena tidak ada jalan yang dibuka untuk pergi ke gereja luar. Namun, sepertinya Aghiya memiliki jalan keluar lain. Ia menganggukkan kepalanya untuk menyetujui usulan Aghiya.

"Kalau begitu, kita harus cepat pergi sebelum sore," kata Aghiya sambil menarik tangan Tatjana.

"Memangnya kita mau ke mana?" tanya Tatjana bingung. "Aku harus nganterin bakul tanaman ke Payon Omah obat."

"Kita akan pergi ke gereja di luar istana, dan nanti Dayang pasti akan mengambil bakul itu. Ayo Mbakyu," kata Aghiya lagi.

Tatjana tidak menjawab dan hanya mengikuti langkah kaki Aghiya yang membawanya ke sebuah semak-semak tebal. "Hanya saya dan Dimas Ajinata yang tahu jalan keluar ini, Mbakyu. Kita ndak bisa kasih tahu Kangmas karena dia pasti akan menutup jalan ini."

Aghiya mempersilakan Tatjana untuk masuk terlebih dahulu, lalu mengikutinya dari belakang. Tatjana hanya mengikuti jalur yang sudah dibuat pada rongga yang menyerupai terowongan belukar ini. Saat ia mendapatkan sebuah cahaya, ia yakin itu adalah ujung dari terowongan ini.

Senyum Tatjana mengembang ketika akhirnya mereka keluar dari terowongan kecil itu dan ia dapat menatap hutan jarang yang ada di hadapannya.

Aghiya tersenyum dan kembali menarik tangan Tatjana lalu kembali membawanya berlari. Sepertinya remaja ini memang suka berlari. Ia tertawa dan hanya mengikuti langkah kaki Aghiya. Untuk pertama kalinya setelah hampir seminggu, udara benar-benar mengisi rongga dadanya.

φ

The Perfect BouquetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang