Sekali lagi Tatjana menuruni kereta kudanya dan sekarang ia memandangi sebuah bangunan yang lebih kecil dari Kadhaton Utama Balwanadanawa. Ia tidak tahu seberapa besar tempat ini namun yang pasti, perjalanan mereka memakan waktu hampir dua puluh menit untuk mencapai tempat ini.
“Mari, Ajeng. Saya bawakan barang-barangnya,” kata seorang wanita yang mungkin tidak terlalu tua darinya.
"Jangan panggil Ajeng dong. Ajeng tuh nyebelin Mbak," kata Tatjana yang ingat akan teman SMA nya dulu yang bernama Ajeng. Wanita itu selalu mencari gara-gara dengannya dan selalu ingin lebih darinya. Padahal, tidak ada yang bisa melebihi pesona seorang Tatjana Ruby Suwaryono.
Tadi saat akan pergi ke sini, ada seorang wanita datang menghampirinya. wanita itu terlihat tidak menyukainya dan membawa wanita lain yang katanya adalah dayang untuknya selama berada di sini. Wanita itu juga mengatakan kalau ia akan tinggal di Payon Omah Dhami(10) dan di sini lah ia berada sekarang.
Ia melangkah untuk memasuki bangunan ini ditemani oleh Wahyuni, dayang yang akan membantunya. Bangunan ini tidak berbeda dari bangunan lainnya, hanya saja ukurannya lebih kecil. Membuat Tatjana berpikir kalau mungkin bangunan ini memang diperuntukkan kepada tamu-tamu.
“Mbak Wahyuni,” panggil Tatjana saat mereka tiba di bagian dalam yang menyerupai apartemen lengkap beserta isinya.
Bagian dalam bangunan ini sangat baik, membuat Tatjana berpikir kalau ia akan betah tinggal di sini. Awalnya, ia berpikir akan tinggal di sebuah kamar yang hanya beralaskan tikar dengan obor api sebagai lampunya. Ia tersenyum, ekspektasinya terlalu rendah untuk Kerajaan ini.
“Ya, Ajeng?”
“Tadi, siapa yang nyuruh saya tinggal di sini?” tanya Tatjana.
Wahyuni terlihat berpikir lalu menjawab, “Gusti Raden Ajeng Nariah?”
“Iya kali. Kelihatannya dia gak begitu suka dengan saya, ya? Dia siapa sih?” tanya Tatjana karena ia sangat mengingat tatapan tidak suka yang diberikan oleh Gusti Raden Ajeng Nariah itu.
“Gusti Raden Ajeng Nariah adalah putri satu-satunya Yang Mulia Raja. Beliau memiliki tugas penting di dalam istana dan selalu memilihkan tempat untuk para tamu,” jawab Wahyuni sambil meletakkan dua koper milik Tatjana.
Tatjana menganggukkan kepalanya. Wajar saja dia seperti tidak bersahabat, dari banyak drama yang pernah ia tonton, sangat sedikit putri raja yang ramah.
“Tapi bangunan ini sepi banget,” katanya lagi.“Karena setiap tamu akan menempati satu Payon Omah, Ajeng Tatjana. Selama Ajeng berada di sini, hanya Ajeng yang menempati Payon Omah ini.”
Sekali lagi Tatjana menganggukkan kepalanya, tanda ia mengerti. Ia mengerti mengapa bangunan ini jauh lebih kecil, karena satu bangunan hanya bisa ditinggali oleh satu tamu saja. Cukup baik dalam menghemat bangunan.
“Tapi ini paling jauh, ya?” tanya Tatjana.
“Betul,” jawab Wahyuni. “Payon Omah Dhami adalah yang paling jauh. Tapi, seperti namanya, Dhami yang berarti damai, Payon Omah ini adalah tempat yang paling damai.”
Benar, Tatjana dapat merasakannya. Di tempat ini, Tatjana merasakan ketenangan. “Mbak Wahyuni akan menemani saya tinggal di sini, kan?”
Wahyuni mengangguk, membuat Tatjana bernapas dengan lega. Ia tidak akan bisa membayangkan jika ia hanya akan tinggal sendirian di bangunan ini.
“Mbak bisa ceritakan arti Kadhaton Balwanadanawa?”
Tatjana duduk di pinggir kasurnya sementara Wahyuni masih berdiri sambil menundukkan kepala. “Duduk di sebelah saya dong, Mbak. Kita kan temenan mulai sekarang. Jangan nunduk-nunduk juga, oke?”
Dengan canggung Wahyuni duduk di sebelah Tatjana dan mulai bicara, “Kadhaton itu artinya kerajaan, dan Balwanadanawa itu nama daerahnya. Balwanadanawa juga berarti akar raksasa. Pendiri Kadhaton Balwanadanawa berharap agar kerajaan ini kokoh karena pondasinya adalah akar raksasa.”
Tatjana kembali menganggukkan kepalanya. “Kalau adat tradisi di sini gimana? Saya harus belajar tata krama karena saya gak mau tidur di kandang kuda.”
Wahyuni mengangkat kepalanya dan menatap wajah cantik Tatjana. Bahkan ia terpukau dengan kecantikan gadis yang akan ia temani selama sepuluh hari ke depan ini. “Siapa yang akan membuat Ajeng tidur di kandang kuda?”
“Ajudannya Raden Mas itu, Mbak. Mas Elijah. Dia bilang kalau saya gak sopan, saya akan tidur di kandang kuda,” jawab Tatjana yang membuat Wahyuni tertawa.
“Saya akan mengajarkan ilmu dasar tata krama jika bertemu keluarga kerajaan, kalau begitu. Saya ndak mau lihat Ajeng tidur di kandang kuda,” jawab Wahyuni lembut.
Padahal, tidak akan ada yang bisa membuat tamu kerajaan tidur di kandang kuda.
φ
Setelah menyelesaikan pembicaraannya dengan Raja, Derish kembali ke Payon Omah Denawa, bangunan yang diperuntukkan kepada anak-anak lelaki Adipati Kala. Saat ia akan memasuki kamarnya, tiba-tiba langkahnya terhenti karena ada dua orang remaja yang sudah menunggunya di dalam kamar.
“SELAMAT DATANG, KANG MAS!” teriak mereka berdua. Ya, itu adalah Raden Aghiya dan Raden Ajinata, dua adik tirinya.
“Kalian ini,” desah Derish karena sekarang mereka berdua menarik Derish ke dalam kamar dan memecahkan balon di hadapannya, sebagai tanda sambutan.
Aghiya baru berusia tujuh belas sementara Ajinata baru berusia lima belas. Mereka sangat dekat dan menjadi jarang bertemu karena keputusan Derish untuk tinggal bersama ibunya. Ia sama sekali tidak menganggap dua adiknya ini sebagai adik tiri karena ia sangat menyayangi adik-adiknya.
“Kang mas, kita tidak pernah tidur di kasur Kang mas. Kita bahkan membersihkannya setiap hari. Iya, kan Kang mas Aghiya?” kata Raden Ajinata yang sangat bersemangat.
“Ya, Kangmas tahu,” jawab Derish sambil menatap sekeliling kamarnya.
“Tadi Kang mas dan Ibu Araya membawa seorang gadis cantik?” tanya Aghiya. Mereka tidak sempat ikut menyambut Kang mas mereka karena tadi mereka harus belajar ilmu bela anglep bandayuda diri di halaman istana.
“Kita hanya melihatnya sebentar. Kita hanya melihat Mabakyu Nariah mengantarnya ke kereta kuda untuk di bawa ke salah satu Payon Omah. Dimas, tadi ke Payon Omah mana?” tanya Aghiya kepada adik terkecil mereka.
“Dhateng pundi, ya?” tanya Ajinata kepada dirinya sendiri. “Oh, ke Payon Omah Dhami, Kang mas.”
Wajah Aghiya berubah cerah dan menganggukkan kepalanya. “Nah, iya. Mbakyu itu juga kelihatan kesal, Kang mas. Tapi kenapa dibawa ke Payon Omah Dhami, ya? Padahal ada Payon Omah yang lebih dekat. Dhami kan jauh sekali.”
Derish menghela napas, tiba-tiba ia sangat mengkhawatirkan Tatjana. Walaupun di sini tidak ada lelaki brengsek seperti Anjas, namun ia khawatir. Bagaimana jika wanita itu ternyata tidak betah di sini?
“Kang mas,” panggil Ajinata kepada Aghiya. “Sepertinya Kang mas tertua kita sedang memikirkan Mbakyu yang cantik itu.”
Derish menatap kedua adiknya dan menggelitik tubuh mereka berdua sambil berkata, “Kang mas dengar, tahu?”
Dengan cepat, suasanya yang biasanya terasa sepi di Payon Omah Denawa kini kembali terdengar ceria karena kepulangan Kangmas tertua mereka. Derish masih menggelitik adik-adiknya, berharap kalau kebahagiaan mereka akan selalu seperti ini.
φ
(10) Payon Omah Dhami adalah bangunan untuk para tamu dan letaknya paling jauh dari bangunan lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Bouquet
Fiction Historique#1 Historicalfiction (19/06/2021) Disclaimer: Kerajaan, adat dan semua yang ada di dalam cerita ini murni hanyalah imajinasi dari penulis dan tidak bermaksud menyinggung pihak mana pun. φ Blurb: "Tapi untung juga sih lo cuma seorang pangeran, bu...