Esoknya, Tatjana sudah berada di mobil bersama dengan Derish dan Araya. Derish benar-benar datang ke rumah Tatjana untuk minta izin kepada ayah Tatjana dan dengan mudah, Ardi menyetujui. Bahkan, ia mengatakan akan menjemput Tatjana sepuluh hari lagi karena ia ingin melihat kerajaan Balwanadanawa.
Sejak memasuki daerah Balwanadanawa, Tatjana tidak henti-hentinya menatap apa pun yang bisa ia lihat. Balwanadanawa dipimpin sepenuhnya oleh Raja yang secara hukum menduduki posisi sebagai gubernur daerah Balwanadanawa dan tempat ini terlihat sangat hijau dan ramah. Orang-orang yang berada disini lebih suka berjalan kaki dan dari apa yang Tatjana lihat, mereka tidak sepenuhnya memakai kebaya. Bahkan semua anak muda masyarakat di sini menggunakan baju pada umumnya.
“Der, lo ngibulin gue, ya? Katanya gak boleh pake jeans tapi buktinya banyak kok yang pake baju jaman sekarang,” dengus Tatjana kesal tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalanan.
Ia kesal karena sekarang dirinya sudah memakai setelan kebaya berwarna putih gading dengan kain batik dan rambutnya yang sudah disanggul ketat. Derish benar-benar membuktikan ucapannya karena Araya, ibu Derish benar-benar sudah menyiapkan banyak kebaya yang bisa ia pakai. Anehnya, kebaya itu sangat pas di tubuhnya.
“Mbak Tatjana, nanti kalau sudah tiba di Kadhaton, ndak boleh panggil Raden Mas dengan sebutan Der-Der seperti itu. Harus panggil Drastha Raden Mas Tarendra lho, ya..” kata Elijah sambil menyetir mobil mereka.
Tatjana kembali mendengus. “Mas Elijah pernah dengar istilah nama panggilan? Kalau saya manggil nama dia kayak gitu, sekalian aja saya panggil nama lengkap sampai ke nama nenek moyangnya.”
“Walah dalah.. Raden Ayu Araya, maaf..” kata Elijah yang tidak enak kepada Araya karena harus mendengar kata-kata tidak sopan dari wanita biasa ini.
Araya hanya tersenyum memaklumi. Ia sama sekali tidak merasa marah karena anaknya tidak dipanggil dengan gelar ningrat. Mungkin, ia sudah terbiasa dengan cerita Derish yang mengatakan kalau Tatjana ini sama sekali tidak menganggapnya sebagai pangeran mahkota.
“Tatjana, bagaimana kesan pertama kamu terhadap Balwanadanawa?” tanya Araya.
Tatjana mengalihkan perhatiannya dari kaca mobil dan menatap Araya lalu tersenyum. “Sangat asri dan membuat saya betah, Tante.”
Jantung Elijah akan kembali jatuh ketika mendengar panggilan Tatjana kepada Araya. “Manggil Raden Ayu juga ndak boleh seperti itu, Mbak Tatjana.. Raden Mas, saya yakin ndak sampe sehari Mbak Tatjana akan tidur di kandang sapi atau kuda karena cara bicaranya ndak sopan..”
Derish tertawa karena membayangkan Tatjana akan tidur di kandang kuda. Ia ingat dulu, saat dirinya masih kecil, saat ia dan anak-anak kerajaan lainnya sedang belajar tata krama, mereka sering tidur di kandang kuda karena belum memahami cara bicara yang sopan kepada orang tua dan kepada Raja.
“Sudah-sudah..” lerai Araya. “Tatjana, tadi kamu bingung kenapa kita harus memakai kebaya, lalu Derish dan Elijah memakai baju adat Balwanadanawa, kan?”
Tatjana menganggukkan kepalanya.
“Di luar istana, masyarakat memang memakai baju seperti biasa. Tapi karena kita akan memasuki istana, kita harus berpakaian seperti ini. Siapa pun yang berada di dalam istana harus memakai pakaian yang disahkan oleh Raja.”
Kepala Tatjana kembali terangguk. “Walaupun itu turis?”
“Turis hanya mengunjungi bangunan istana lama yang sudah ada sejak zaman dulu, yang sekarang dijadikan aset pariwisata. Ini karena banyaknya turis yang datang, akhirnya kerajaan membangun istana baru yang letaknya lebih dalam dari istana lama. Tidak ada turis yang bisa masuk ke istana baru.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Bouquet
Historical Fiction#1 Historicalfiction (19/06/2021) Disclaimer: Kerajaan, adat dan semua yang ada di dalam cerita ini murni hanyalah imajinasi dari penulis dan tidak bermaksud menyinggung pihak mana pun. φ Blurb: "Tapi untung juga sih lo cuma seorang pangeran, bu...