Bab 18

1.4K 221 7
                                    

Setelah semua orang meninggalkan mereka berdua, sang Raja menatap Derish yang masih berdiri di tempatnya dengan menundukkan kepala. Ia berdiri dengan perlahan karena kondisinya yang belum sepenuhnya pulih lalu berjalan untuk menghampiri Derish.

“Drastha,” panggilnya. “Mau menemani Pakdhe melihat taman istana?”

Derish sedikit menaikkan pandangannya dan mengangguk lalu mempersilakan Raja untuk berjalan terlebih dahulu. Namun, Raja justru menarik lengannya untuk berjalan berdampingan.

“Bukannya kita dulu pernah berjanji untuk lebih hangat ketika hanya berdua, Raden Mas?” tanya Raja Chandra ketika mereka sudah berada di taman utama istana. “Kamu harus memanggilku Pakdhe jika kita hanya berdua.”

“Iya, Pakdhe,” jawab Derish.

Dulu, saat ia masih berusia enam tahun, Raja Chandra membiarkannya untuk memanggil Pakdhe karena Raja berpikir kalau Derish kecil belum mengerti apa itu istilah Raja dan saat Derish sudah mulai tumbuh besar, ia baru menyadari kalau seharusnya ia memanggil Pakdhe-nya dengan sebutan Yang Mulia Raja. Saat itu, saat pertama Derish memanggilnya dengan sebutan Yang Mulia Raja, Raja Chandra memintanya berjanji untuk tetap memanggilnya Pakdhe jika mereka hanya berdua.

“Terkadang, Pakdhe merasa mengenalimu lebih dari siapa pun, bahkan lebih dari Bapakmu sendiri karena kamu lebih sering menghabiskan waktu dengan Pakdhe. Kamu sudah banyak belajar lebih dari semua orang tentang Kadhaton ini karena kamu sudah dipersiapkan untuk menjadi penerus ku.”

Derish hanya diam sambil mendengarkan sang Raja yang sedang berbicara. Raja meminta semua pengawalnya untuk meninggalkan mereka berdua saja di taman ini.

“Raden Mas, pernah kamu berpikir, kenapa kamu harus mengemban tugas ini?” tanya Chandra.

“Kulo tidak bisa memikirkannya, Pakdhe. Walau bagaimanapun, kulo tetap harus menerimanya,” jawab Derish dengan sopan.

Raja tersenyum karena mendengar jawaban keponakannya ini. “Walaupun dunia sudah sangat modern, tapi tetua kita tetap mempercayai bintang-bintang sebagai penunjuk untuk mengetahui siapa yang akan menjadi Raja. Dulu, aku dan Bapakmu adalah dua pangeran kecil yang tidak tahu apa-apa. Bapakmu adalah adik yang sangat baik.”

Mata sang Raja menerawang ke atas langit yang sudah menggelap namun belum menampakkan bintang-bintangnya. “Kemudian, tetua memberitahu kalau bintang memilih Bapakmu untuk menjadi seorang Raja, menggantikan ayah kami. Tapi apa yang Bapakmu katakan, Raden Mas?”

Derish masih diam sambil menundukkan kepalanya.

“Bapakmu mengatakan kalau jika dia harus menjadi Raja, maka Pakdhe harus mati dulu karena usia Pakdhe yang lebih tua darinya. Mendengar itu, para tetua sangat marah. Tapi mereka tidak bisa melakukan apapun karena Bapakmu tetap tidak mau mengisi singgasana. Akhirnya, Pakdhe tetap menjadi raja sementara Bapakmu sudah tidak bisa lagi menggantikan Pakdhe karena kata-kata yang sudah dia ucapkan.”

“Dan ternyata, hingga sekarang, Pakdhe tidak memiliki keturunan laki-laki yang bisa meneruskan kerajaan. Kamu bisa melihat bagaimana takdir tidak akan pernah bisa tertukar? Mungkin Bapakmu dipilih untuk menjadi raja bukan karena takdirnya, tapi karena takdirmu yang harus menjadi raja. Buktinya, semua ini terjadi dan takhta tetap mengarah kepadamu. Kamu adalah anak laki-laki pertama, pangeran pertama dari keturunan langsung dan kamu adalah orang yang paling tepat untuk menggantikan Pakdhe kelak.”

Pakdhe, kenapa harus kulo? Gusti Raden Ajeng Nariah adalah keturunan langsung dari Pakdhe dan dia juga bisa menjadi penerus kerajaan,” tanya Derish.

Raja Chandra menarik napas dan kembali menatap bintang-bintang yang kini mulai terlihat. Ada alasan mengapa di lingkungan kerajaan, mereka tidak boleh memakai mobil atau sejenisnya karena para tetua harus tetap mengamati bintang tanpa terpapar polusi. Dan benar, bintang sangat cerah dan indah jika dilihat dari langit Kadhaton Balwanadanawa.

“Dulu, setelah Indonesia merdeka, Kadhaton Balwanadanawa adalah salah satu kerajaan yang menyumbangkan banyak Gluden untuk pembangunan negara dan pada saat itu pula, Presiden pertama Indonesia berjanji kepada Raja yang memerintah pada masa itu untuk tetap membiarkan kerajaan kita berdiri di dalam negara Indonesia asalkan yang memimpin adalah anak laki-laki keturunan langsung, jika tidak ada anak laki-laki keturunan langsung, maka kita harus meletakkan kekuasaan kepada negara.”

Derish tidak pernah tahu akan hal itu karena ia tidak pernah menanyakan alasannya dipilih menjadi pangeran mahkota. Selama ini, ia hanya belajar dan menerima semua yang dikatakan oleh para tetua kepadanya.

“Tapi masih ada Aghiya dan Ajinata, mungkin adik-adik kulo yang lebih berhak, seperti Bapak yang dipilih oleh para tetua.”

Sang Raja menatap Derish. “Saat kamu lahir, para tetua langsung tahu kalau kamu lah pilihan dari bintang, Raden Mas. Bintang kamu bersinar sangat terang dan para tetua yakin, kamu akan membawa kejayaan pada masa ini.”

Derish kembali diam, sekarang ia mengerti kalau dirinya memang harus mengambil alih kekuasaan dari pamannya ini. “Kulo mengerti, Pakdhe.”

“Lalu, bagaimana dengan pertunanganmu?” tanya Raja.

“Kulo dan Ajeng Adiningrum sudah sepakat untuk tidak melanjutkan pertunangan ini,” jawab Derish. 

Chandra menganggukkan kepalanya. “Pakdhe sudah bisa menebaknya. Apa Ajeng Tatjana adalah orang yang kamu cintai?”

Derish tidak sengaja mengangkat kepalanya hingga ia menatap mata sang Raja kemudian ia kembali menundukkan kepalanya. Chandra sangat mengenali keponakannya ini dan sekalipun Derish tidak pernah melakukan kesalahan jika berada di hadapannya dan hari ini, ia sudah melihat banyak kesalahan yang dibuatnya.

Ia tersenyum. “Pakdhe sudah mengetahuinya semenjak kamu masuk berdampingan dan menarik tangan Ajeng Tatjana agar dia berhenti. Saat itu, Pakdhe melihat kamu melakukan pelanggaran tata krama untuk pertama kalinya. Kamu bahkan tidak segan untuk melanggar peraturan demi gadis yang kamu cintai.”

“Maaf, Pakdhe,” jawab Derish.

“Tidak apa-apa. Kamu memang harus membimbing dia karena dia adalah tamu kamu di kerajaan ini.”

“…”

Raja kembali berkata, “Tapi bagaimanapun, Pakdhe sangat menyukai Ajeng Tatjana. Dia memiliki pikiran yang polos dan kehadirannya membuat istana lebih berwarna. Orang-orang di dalam istana sangat mematuhi peraturan dan dia datang dengan semua kebebasannya.”

Hati Derish tersentil ketika mendengar kata terakhir dari sang Raja. Tiba-tiba saja ia teringat dengan pembicaraannya dengan ibunya di telepon beberapa hari yang lalu. Ia ingat kata-kata ibunya yang mengatakan kalau jika seekor burung yang terbiasa hidup di alam bebas dipaksa untuk hidup di dalam sangkar emas, maka dia akan menderita.

“Kehadirannya membuat Pakdhe teringat akan seseorang,” kata sang Raja kemudian ia tersenyum, “Ibumu juga datang dengan kepolosan seperti itu. Pakdhe dulu sangat dekat dengannya, Pakdhe menganggapnya seperti adik dan kakak perempuan yang tidak pernah kumiliki.”

Pakdhe,” panggil Derish. “Tatjana adalah gadis yang tidak pernah hidup di antara peraturan istana dan dia sangat bebas. Kalau dalem menikahi Tatjana, apakah dia akan menderita hidup di dalam istana ini, dengan semua peraturan yang harus ia ikuti dan pelajari?”

Chandra kembali tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Derish. “Dia tidak akan menderita jika dia tidak terpaksa, Raden Mas. Pakdhe tahu alasan kamu mengajaknya ke Kadhaton adalah karena kamu ingin membuatnya terbiasa, kan?”

Derish menganggukkan kepalanya.

“Tapi sebenarnya, bukan itu yang dia butuhkan,” kata sang Raja. “Yang dia butuhkan adalah, agar dia mencintai kamu, agar dia tidak terpaksa hidup di dalam istana ini. Agar dia memiliki alasan untuk tetap tinggal di sini.”

φ

The Perfect BouquetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang