BAB 12

1.4K 225 6
                                    

Keesokan harinya, acara teater musikal diadakan. Teater ini diadakan pada hari Minggu malam hingga membuat Tatjana sama sekali tidak pulang ke rumahnya sejak pagi. Ia dan timnya terus melakukan gladiresik hingga mereka benar-benar merasa kalau tidak akan ada masalah. Namun, walaupun begitu, mereka tahu kalau apa yang terjadi di pementasan yang sesungguhnya tidak akan sama dengan apa yang mereka praktekkan. Pasti akan ada sedikit perbedaan di antara keduanya.

Sekarang sudah pukul lima sore, hanya tiga jam sebelum acara dimulai dan semua latihan sudah dihentikan karena semua pemain harus mempersiapkan diri untuk pementasan.

"Ta," panggil Derish saat ia menemukan wanita itu sedang duduk sendirian di ruang rias. "Makan dulu sebelum lo di make up."

"Nanti perut gue buncit kalau makan sekarang. Nanti aja, selesai acara lo temenin gue makan ya."

Derish menghela napas dan meletakkan quiona dan ikan rebus yang ia bawakan untuk Tatjana. Ia tidak tahu bagaimana bisa Tatjana takut gemuk sementara ia tidak gemuk sama sekali. Seingatnya, berat badan Tatjana hanya lima puluh lima kilogram dengan tinggi 172 sentimeter.

Derish tidak akan pernah mengerti definisi kurus dan gemuk di mata perempuan.

"Ya udah. Sekarang lo mau apa?" tanya Derish yang sekarang sepertinya sedang beralih profesi sebagai asisten Tatjana.

Sang pangeran mahkota sekarang sedang menjadi asisten seorang Tatjana Ruby Suwaryono.

Tatjana mengerutkan keningnya. "Pinjem bahu lo. Bentar lagi gue mau di make up tapi ada waktu lima belas menitan. Gue mau tidur bentar."

Kemudian Tatjana meletakkan kepalanya ke bahu Derish dan mulai memejamkan matanya. "Gue dateng ke sini jam delapan pagi."

"Gue tahu," jawab Derish karena dirinya lah yang mengantar Tatjana pukul delapan pagi tadi.

"Kalau udah ada yang make up, bangunin gue ya. Posisi kayak gini bikin gue merasa lebih baik," kata Tatjana yang hanya berupa gumaman.

Derish menganggukkan kepalanya. Ia tahu kalau wanita keras kepala ini sedang sangat lelah dan membiarkannya untuk tidur sebentar. "Ta."

"Hm?"

"Jangan lupain janji lo ya. Kalau lo selesai teater ini, lo harus ikut gue ke Kadhaton Balwanadanawa."

Derish dapat merasakan kalau Tatjana tersenyum pada bahunya. "Gue gak akan ingkar janji kok. Tapi lo harus bicara sendiri sama nyokap gue."

Derish kembali menganggukkan kepalanya. Ia tidak tahu alasan apa yang membuatnya sangat ingin membawa Tatjana ke kerajaannya. Yang pasti, ia sangat senang ketika memikirkan wanita keras kepala ini akan berkunjung ke kerajaannya.

φ

Di Kadhaton Balwanadanawa, kondisi Raja Chandra memburuk. Ia sedang dirawat secara intensif oleh bagian kesehatan tingkat tinggi kepercayaan kerajaan. Untuk urusan pengobatan keluarga inti, kerajaan memiliki peraturan bahwa pengobatan harus dilakukan secara alami. Sangat sedikit campur tangan medis modern.

Kesehatan Raja tentu mengundang banyak minat di kalangan semua orang. Apalagi, Kadhaton Balwanadanawa adalah kerajaan yang sangat besar yang berdiri di dalam negara Indonesia. Kerajaan ini mampu menghidupi rakyatnya sendiri dari hasil alam dan sektor pariwisata. Namun, walaupun begitu, kerajaan ini tetap mengakui kedaulatan negara Indonesia dan mengaku sebagai bagian dari negara Indonesia.

Raja Chandra yang sedang berbaring di atas ranjangnya menghela napas, membuat Permaisuri Ratu yang tengah merawatnya menoleh.

"Yang Mulia," ucapnya dengan suara rendah. Gusti Permaisuri Ratu Tasmirah adalah satu-satunya istri yang dimiliki oleh Raja Chandra.

"Ratu, berapa lama lagi Drastha tiba?" tanyanya.

"Yang Mulia baru saja mendapat kesadaran. Lebih baik Yang Mulia fokus kepada kesehatannya terlebih dulu," jawab Tasmirah lembut.

Raja Chandra tersenyum dan menatap permaisurinya. Ia tahu kalau di balik wajah tenang itu, permaisurinya sedang sangat mengkhawatirkannya. Dua tahun yang lalu, saat ia pertama kali pingsan, tabib kerajaan menyatakan kalau sang Raja mengidap gagal jantung dan mereka terus berusaha untuk merawat sang Raja.

"Ratuku," panggil Raja kepada permaisurinya. "Aku sudah tua dan aku tahu kalau aku tidak akan bisa memimpin Balwanadanawa lebih lama lagi. Kita harus mempersiapkan Drastha untuk menggantikan posisiku."

"Yang Mulia bisa hidup lebih lama." Tasmirah lalu memberikan obat herbal yang harus diminum oleh Raja. "Yang Mulia hanya perlu beristirahat dan akan segera membaik."

"Kapan Drastha akan tiba?" tanya Raja Chandra lagi.

Tasmirah menghela napasnya dan menatap suaminya. "Apa di pikiran Yang Mulia hanya ada kerajaan ini? Apa Yang Mulia tidak pernah memikirkan kesehatan sendiri?"

"Maafkan aku, istriku. Aku bahkan tidak pernah memikirkan perasaanmu."

"Drastha akan tiba paling lambat dua hari lagi, Yang Mulia," kata Tasmirah pada akhirnya. "Aku hanya berharap, ketika memimpin, Drastha lebih memikirkan kesehatannya sendiri daripada kerajaan yang tidak pernah akan memikirkannya."

Raja Chandra tersenyum karena kemarahan istrinya. "Aku juga berharap, suatu hari, Drastha akan menemukan wanita seperti dirimu yang tidak pernah cemburu ketika aku hanya memikirkan kerajaan. Setelah duduk di singgasana, mau tidak mau, Drastha akan mengorbankan seumur hidupnya untuk Kadhaton dan Balwanadanawa. Aku berharap, dia memiliki seorang istri yang bisa ikut memikul beban itu."

"Aku akan berdoa untukmu dan Drastha, Yang Mulia," jawab Tasmirah sambil menghapus air mata di ujung pelupuknya.

"Apa Raden Ayu Araya akan datang dengan Drastha?" tanya Chandara sambil menyentuh telapak tangan istrinya.

Tasmirah mengangguk. "Raden Ayu Araya akan tiba bersama Drastha. Mereka akan membawa seorang wanita. Drastha mengatakannya sendiri kepadaku, Yang Mulia. Drastha Raden Mas Tarendra meneleponku dan memohon agar aku mengizinkannya membawa seorang wanita."

"Seorang wanita?" tanya Chandra.

"Ya, Yang Mulia. Seorang wanita."

φ

Derish duduk di salah satu kursi yang paling dekat dengan panggung. Ia sudah membeli tiket dan meminta crew untuk mengosongkan dua tempat duduk karena sekarang ia harus selalu berbagi tempat dengan Elijah.

"Wah ndak nyangka kalau Raden Mas mau melihat teater seperti ini. Tempatnya juga bagus," kata Elijah yang tak henti-hentinya berdecak kagum.

Derish memang baru pertama kali menghadiri pementasan teater seperti ini dan ia tahu kalau acara malam ini adalah acara yang terbaik dari teater sebelumnya. Tiga puluh menit sebelum pementasan dimulai pun, semua kursi sudah hampir terisi penuh.

"Tapi wanita biasa itu ndak ikut toh Raden Mas?"

Derish tidak menjawab karena sekarang lampu-lampu mulai dipadamkan dan pembawa acara sudah menyelesaikan sambutannya. "Lihat ke depan, Elijah. Dia ada di atas panggung sekarang."

φ

The Perfect BouquetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang