"Bagaimana dengan calon tunangan Drastha?" tanya Ningsih kepada seorang tetua.
Berita pertunangan sang pangeran mahkota dengan wanita berdarah biasa sudah menyebar di seluruh penjuru Balwanadanawa. Meskipun Ningsih tidak mempermasalahkan wanita itu, ia tetap harus bertanya kepada para tetua.
"Aku tidak mendapatkan pertanda apapun. Bahkan, aku tidak menemukan bintang wanita itu di atas langit Balwanadanawa ini," kata Joko, seorang tetua yang kini sedang berbicara dengan Ningsih.
"Tapi cucuku sangat mencintai sepalih gesang-nya." Untuk beberapa saat, Ningsih dan Joko saling tatap.
Joko menghembuskan napas dan meletaklan dupa yang sedari tadi mengepulkan asap. "Sebenarnya, bintang wanita itu tidak berada di manapun. Tidak di langit Balwanadanawa, tidak juga di langit tempat-tempat lainnya."
"Apa maksudmu?" tanya Nastiti bingung.
Ia sangat tidak mengerti dengan ucapan sang tetua karena walaupun tidak dilahirkan di Balwanadanawa, setiap manusia pasti memiliki satu titik bintang kelahiran di langit. Jika Tatjana tidak memiliki bintang kelahirannya, maka tidak ada cara bagi para tetua untuk mengetahui apakah bintang Tatjana dan bintang milik Derish bisa disatukan.
"Baru kali ini aku tidak menemukan bintang dari seseorang," jawab Joko.
Sejak sang pangeran mengumumkan bahwa Tatjana adalah sepalih gesang miliknya, Joko sudah mulai menelaah bintang-bintang untuk menemukan bintang milik Tatjana. Namun, semua yang ia lakukan sama sekali tidak membuahkan hasil. Ia tidak dapat menemukan bintang itu, hingga ia sadar kalau Tatjana memang tidak memiliki bintang kelahiran.
"Hanya ada satu alasan mengapa hal ini bisa terjadi," kata Joko lagi.
"..."
"Bahwa wanita itu tidak ditakdirkan untuk kehidupan ini. Wanita itu tidak hidup untuk saat ini."
φ
Nataline dan Ardi terlihat gugup sekaligus takjub ketika mereka berdiri dihadapan Kadhaton Utama Balwanadanawa. Gerbang utama Kadhaton Balwanadanawa memang belum terbuka karena ritual berkabung belum selesai dilaksanakan. Namun, mereka bisa datang ke kerajaan megah ini karena undangan langsung dari Derish, sang calon raja yang tinggal menunggu hari untuk penobatannya.
"Kerajaan ini sangat besar ya, Ma?" tanya Ardi santai dan sangat nyaman dengan pakaian yang ia kenakan.
"Kamu gak khawatir kenapa Derish—maksudku—sang raja mengundang kita secara khusus kayak gini?" tanya Nataline sambil menyipitkan matanya.
Ardi mengangkat kedua bahunya. "Untuk meminta kita melihat penobatannya?"
Saat itu, pembicaraan mereka harus terhenti karena seorang dayang mendatangi mereka dan meminta untuk memasuki Kadhaton Utama.
Nataline dan Ardi melangkah untuk menaiki undakan tangga yang akan menghubungkan mereka dengan pintu utama yang sangat besar dan mewah. Tidak berhenti sampai di sana, mereka makin terkagum ketika melihat interior Kadhaton Utama yang begitu megah. Di tengah-tengah ruangan itu, berdiri seseorangdengan senyumannya.
"Selamat datang. Saya adalah Raden Ayu Sekar. Ibu dari Drastha Raden Mas Tarendra," sapanya dengan senyuman.
"Maaf," kata Nataline membuat Sekar menoleh. "Maaf jika saya lancang. Saya pernah melihat ibu Drastha Raden Mas Tarendra tapi saya yakin tidak pernah melihat Anda."
Walaupun sangat tipis, namun Nataline melihat perubahan pada wajah Sekar. Ia tidak bermaksud apapun ketika mengatakannya. Ia hanya tidak ingin merasa bingung karena seingatnya, nama ibu Derish adalah Araya, bukan Sekar. Ia bahkan pernah bertemu dengan Araya.
"Saya adalah Ibu tiri dari Drastha," jawab Sekar sopan.
Dari matanya yang terlihat ramah, Sekar menatap baik-baik wajah Nataline. Ia tahu wanita ini adalah seorang dokter bedah jantung terbaik di negeri ini. Namun terlebih dari itu, Sekar dengan mudah akan mengenali wanita ini sebagai ibu dari Tatjana. Mereka berdua memiliki banyak sekali kesamaan. Terutama soal kelancangan.
Ardi dan Nataline terlihat terkejut dengan jawaban itu. "Maaf, saya tidak bermaksud.."
"Silakan duduk," kata Sekar lagi. "Seharusnya Drastha sendiri yang menyambut kedua orangtua Ajeng Tatjana. Namun sekarang Drastha memiliki sangat banyak hal yang harus dilakukan. Sebentar lagi adalah penobatannya sebagai seorang raja dan upacara pelepasan mendiang Raja Chandra tetap harus diselesaikan. Maka dari itu, saya yang akan menyambut kedua orangtua Tatjana."
"Seharusnya Drastha mengundang kedua orangtua Tatjana lebih awal karena ada banyak hal yang harus diceritakan berkenaan dengan Tatjana."
Mendengar hal itu, Nataline bertanya, "Apa Tatjana melakukan banyak kesalahan?"
Sekar tersenyum. "Apakah Ajeng Tatjana belum mengatakan apapun kepada kedua orangtuanya?"
φ
Tatjana menatap sekitarnya. Meskipun sudah hampir satu minggu berlalu, ia tetap saya bahagia setiap kali mendatangi kebun herbal ini. Kali ini, ia harus mengumpulkan herbal untuk mengobati luka ringan. Kemampuannya dengan obat obatan herbal sudah meningkat sangat pesat sekarang.
"Saya baru sadar kalau Mbakyu sangat cantik ketika tersenyum."
Tatjana menoleh dan kembali tersenyum ketika mendapati Aghiya yang sudah duduk di sebelahnya. Siapapun masih tidak bisa keluar dan memasuki istana. Itulah sebabnya Aghiya masih berada disini karena ia tidak bisa pergi ke sekolahnya.
"Mbakyu masih tersenyum ketika melihat saya," kata Aghiya lagi. "Padahal saya tahu kalau mbakyu sudah tahu semuanya."
"Aku gak ngerti maksud kamu," kata Tatjana bingung.
"Mbakyu pasti sudah tahu siapa wanita yang bicara waktu itu."
Ya, ia tahu. Tatjana lupa kalau Aghiya adalah yang paling terluka ketika mendengar ucapan wanita itu. Wanita yang adalah ibunya sendiri.
"Gimana perasaan kamu?" tanya Tatjana yang sudah tahu jawabannya. Sejak perpisahan mereka waktu itu, Aghiya selalu menghindarinya.
Aghiya menarik dan menghembuskan napasnya. Bahkan remaja berusia tujuh belas ini terlihat lebih dewasa dari usianya. Entah karena keinginannya, atau tuntutan dari kerajaan ini. Tatjana juga menghela napas. Mengapa Kadhaton Balwanadanawa sangat kejam dengan membiarkan Aghiya tahu apa yang akan dilakukan oleh ibunya?
Apakah Kadhaton ingin mendewasakan remaja berusia tujuh belas ini?
"Mbakyu menanyakan perasaan saya, alih-alih menjauhi saya?" tanyanya yang hanya berupa gumaman.
"Aku lebih mengkhawatirkan perasaan Raden Mas dari apapun sekarang," kata Tatjana. Benar. Ia mengkhawatirkan perasaan sang pangeran ini. Sekali lagi ia menghela napas, menatap hamparan indah yang sudah tidak benar-benar indah lagi.
Dan pada saat itu, ketika Tatjana tidak menyadarinya, Aghiya menatapnya. Benar-benar menatap Tatjana. Bukan sebagai calon tunangan kakaknya, melainkan sebagai seorang wanita.
φ
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Bouquet
Historical Fiction#1 Historicalfiction (19/06/2021) Disclaimer: Kerajaan, adat dan semua yang ada di dalam cerita ini murni hanyalah imajinasi dari penulis dan tidak bermaksud menyinggung pihak mana pun. φ Blurb: "Tapi untung juga sih lo cuma seorang pangeran, bu...