BAB 9

1.5K 222 9
                                    

Elijah Damar adalah salah satu orang dalam di Kadhaton Balwanadanawa. Tugasnya adalah sebagai seorang ajudan dari salah satu pangeran, Drastha Raden Mas Tarendra Derish Adiwignyarga.

Namun, lima tahun yang lalu, saat sang pangeran memutuskan untuk meninggalkan istana, pangerannya mengatakan kalau ia tidak membutuhkan ajudan dan ingin hidup sendiri tanpa gangguan dari Elijah.

Pada saat itu, pangerannya membuatnya berjanji untuk tidak mengikutinya sama sekali.

Dengan berat hati, ia menyetujui keinginan pangerannya lalu sekarang, saat pangerannya kembali ke istana, ia sangat bahagia. Bahkan semalam ia tidak bisa tidur untuk bertemu lagi dengan pangerannya setelah lima tahun.

“Raden Ayu Araya,” kata Elijah ketika ia bertemu dengan Araya di koridor istana.

“Elijah,” sapa Araya dengan hangat. Elijah, yang sama seperti Nastiti mengetahui semuanya merasa sedih ketika dayang yang mengikuti Araya hanya satu orang. “Apa kamu masih menjadi ajudan anakku? Atau Yang Mulia sudah memintamu untuk menjadi ajudan pangeran lain?”

“Pangeran kulo ya tetap Drastha Raden Mas Tarendra Derish Adiwignyarga, Raden Ayu,” jawab Elijah dengan bangga karena ia sangat menyukai pangerannya dan tidak akan mau mengurus pangeran yang lain.

Araya tersenyum. “Kamu pasti sangat pusing ketika anakku memutuskan untuk keluar dari istana dan meminta kamu untuk tidak bersamanya.”

“Jujur iya, Raden Ayu..”

“Hus, Mas Elijah. Yang sopan lho ngomong sama Raden Ayu nya,” kata Nastiti sudah tidak tahan dengan cara bicara Elijah yang terlalu informal.

“Ndak apa-apa, Nastiti. Elijah juga sudah lama mengurus Raden Mas,” kata Araya melerai dayang dan ajudan anaknya ini.

Pada saat itu, Raden Ayu Sekar tiba di kerumunan mereka. Namun, tidak ada yang menyadari keberadaannya. “Raden Ayu Araya. Kulo senang bisa ketemu dengan Raden Ayu.”

Araya menoleh ke asal suara dan tersenyum ketika mendapati Sekar bersama rombongan dayang-dayangnya sudah berdiri di antara mereka. “Raden Ayu Sekar,” kata Araya.

Nastiti dan Elijah terdiam ketika melihat dua Raden Ayu mereka.

“Bisa kita bicara sebentar? Saya sangat merindukan Raden Ayu Araya.”

Araya mengangguk dan menatap Nastiti serta Elijah yang bersamanya dan meminta mereka berdua untuk pergi. Sekar juga meminta semua dayang-dayangnya untuk meninggalkan mereka.

“Kulo sangat senang Raden Ayu bisa datang ke istana lagi,” kata Sekar setelah mereka hanya tinggal berdua saja.

“Saya datang ke sini hanya untuk menemani Raden Mas Derish,” jawab Araya tanpa menatap wajah Sekar. Ia justru memandangi taman utama kediaman istana dan tersenyum ke arah bunga-bunga yang ada di sana.

Dua puluh lima tahun yang lalu, saat ia baru saja tiba di istana yang baru saja selesai di bangun ini, taman utama yang ada di hadapannya belum memiliki bunga sama sekali. Lalu Gusti Agung Ningsih, mertuanya, memintanya untuk mempercantik taman ini.

Dengan telaten ia menanam berbagai jenis bunga dan merawatnya hingga bunga-bunganya menjadikan taman ini begitu cantik.

“Anak kita akan segera menikah, Raden Ayu.”

Araya mengalihkan perhatiannya dari taman dan menatap wajah Sekar. Wanita yang dua puluh tahun lalu datang ke istana dan menikah dengan suaminya. Wanita yang memaksanya untuk menyembunyikan kehamilannya, dan wanita yang mencoba untuk merebut posisinya sebagai ibu dari anaknya sendiri.

“Dia anakku, Sekar. Aku yang melahirkannya. Sekuat apapun caramu untuk mencoba merebutnya dariku, dia akan tetap mencari aku,” jawab Araya.

Wajah Sekar yang awalnya tersenyum manis kini berubah sedikit terkejut.

“Statusku lebih tinggi darimu. Jadi aku bisa memanggilmu Sekar saja,” kata Araya lagi. “Sekar, selama dua puluh tahun aku berpikir, kenapa aku dulu tidak bisa hamil, padahal sebelum melangsungkan pernikahan, tiga tabib istana sudah menyatakan kalau aku adalah wanita sehat dan suamiku juga sehat.”

“Raden Ayu, kulo tidak mengerti,” kata Sekar dengan raut bingung ketika Araya mengatakan kata-katanya.

Araya tidak menjawab perkataan Sekar, ia hanya melanjutkan, “Dan sepuluh tahun yang lalu, aku baru tahu kalau kamu yang merencanakan semuanya. Kamu yang menaruh obat di dalam air minumku agar aku tidak bisa hamil tapi ternyata sang pencipta menginginkan hal lain hingga sebelum kamu menikah dengan suamiku, aku hamil.”

"…"

“Aku tahu itu, Sekar. Tapi aku memilih untuk diam karena aku memikirkan perasaan semua orang jika mengetahui semua ini. Terutama Gusti Agung Nilam.”

“Raden Ayu, bagaimana bisa kulo menaruh obat di minuman Raden Ayu? Dapur istana sangat dijaga ketat. Sangat sulit untuk masuk ke sana,” kata Sekar yang masih terlihat tidak mengerti. 

“Bisa, Sekar. Kamu bisa melakukannya. Ibumu adalah kepala dapur.”

“…”

“Karena aku sudah terlanjur hamil, kamu membuat cerita agar bayiku bisa menjadi bayimu. Kamu memperdaya suamiku dan merebut putraku. Awalnya, aku berpikir. Untuk apa kamu melakukan semua ini? Kemudian aku menemukan jawabannya. Karena kamu ingin menjadi Ibu dari seorang raja di Balwanadanawa. Karena kamu tahu kalau hanya putraku yang bisa menjadi penerus takhta.”

“…”

“Lalu, timbul pertanyaan lain dalam pikiranku. Kenapa kamu tidak menikahi Yang Mulia Raja Chandra? Kamu justru menikahi adiknya. Kamu menikahi suamiku. Lalu, aku kembali menemukan jawabannya. Karena kamu sudah tahu kalau Yang Mulia Raja Chandra tidak bisa memiliki keturunan. Kamu merencanakan semuanya agar kamu bisa menjadi Ibu dari seorang raja. Tidak peduli apakah itu putramu atau putraku, kamu hanya ingin menjadikan rencanamu berhasil. Sampai di sini, apakah aku benar?”

“…”

“Lalu Gusti Raden Ajeng Nariah lahir, sebuah mukjizat karena Yang Mulia bisa menghasilkan keturunan. Tapi sayang, anaknya perempuan. Terkadang, aku bersyukur karena Gusti Raden Ajeng Nariah adalah seorang perempuan. Jika dia laki-laki, ada berapa hal yang akan kamu korbankan? Sekar, tidak perlu berpura-pura baik di depanku karena aku sudah tahu semuanya.”

Kemudian, Araya berkata lagi, “Kamu tahu alasanku tidak ingin pulang walaupun para Tetua menginginkanku untuk pulang demi pangeran mahkota? Karena aku tidak ingin bertemu denganmu.”

“Raden Ayu, kulo benar-benar tidak mengerti dan  akan menganggap pembicaraan ini tidak pernah terjadi. Kulo akan melupakannya,” jawab Sekar.

Araya menarik napas pelan. “Kamu tidak perlu melupakannya dan kamu harus mengingat semuanya, bahwa aku tahu segalanya. Sekar, Balwanadanawa bukan hal yang bisa kamu genggam. Kamu akan hancur jika mencoba menggenggam hal yang lebih besar dari telapak tanganmu sendiri.”

“…”

“Aku tidak akan mengatakan kepada siapapun karena aku tahu kalau ini hanya akan menyebabkan kesedihan untuk semua orang. Aku hanya meminta kamu untuk memperbaiki semua kesalahanmu di masa lalu dengan menjadi manusia yang baik.”

“…”

“Ibu?” Derish membuat kebekuan di antara Araya dan Sekar mencair seketika. Araya tersenyum ke arah putranya yang baru saja selesai bicara dengan Yang Mulia Raja. “Ibu ada di sini?”

Tangan Araya menyentuh bahu Derish yang jauh lebih tinggi darinya. Kemudian, ia menatap sekar seolah pembicaraan mereka tadi hanya membahas tentang bunga-bunga. “Raden Mas, Ibu hanya bicara dengan Raden Ayu Sekar.”

Derish menoleh dan mendapati Sekar yang tengah berdiri di sebelahnya. “Ibu Sekar?”

Sekar tersenyum hangat kepada Derish dan berkata, “Raden Mas, Ibu senang kamu masih memanggilku dengan sebutan Ibu. Kamu adalah putraku. Ibu sangat merindukan kamu.”

Araya menghela napasnya, ternyata Sekar masih tidak akan menyerah.

φ

The Perfect BouquetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang