Esok harinya, Tatjana memutuskan untuk mengawali pagi dengan duduk di beranda Payon Omah Dhami sambil menatap pemandangan yang kemarin tidak sempat ia lihat karena sudah malam. Ia tidak percaya kalau di hadapannya, ada hamparan kebun teh dan orang-orang yang sudah selesai memetik pucuk daunnya.
Ia berdiri dan melangkah untuk menemui orang-orang itu. Hari ini ia memakai kebaya berwarna biru muda dan sepertinya sekarang ia sudah tidak merasa kesulitan untuk berjalan dengan kain batik yang ia pakai.
“Halo,” sapa Tatjana kepada seorang ibu-ibu yang sedang membawa hasil petikan daun teh. “Ibu sudah selesai metik daun teh nya?”
Ibu itu mengangguk sambil tersenyum. “Sudah, Diajeng. Kami selalu memetik pucuk daun teh sebelum matahari terbit dan harus menyelesaikannya sebelum matahari timbul.”
“Oh.. Kalau begitu, besok saya akan bangun lebih pagi untuk bantuin metik pucuk daun teh nya ya, Bu?” kata Tatjana lagi dan ibu itu menganggukkan kepalanya.
Tatjana lalu melanjutkan langkahnya, menelusuri jalan yang berada di antara hamparan tanaman teh. Ia menghirup napas dalam-dalam dan benar-benar hanya merasakan oksigen yang sangat bersahabat memasuki paru-parunya. Udara di sini sangat segar dan langitnya benar-benar biru cerah, sama sekali tidak ada polusi.
Ia mengingatkan dirinya sendiri untuk menatap bintang malam ini. Apakah bintang-bintang akan terlihat sangat banyak dari tempat ini?
“Tatya!”
Tatjana menoleh ke arah Payon Omah yang ia tempati karena merasa ada seseorang yang memanggil. Ia tahu siapa yang memanggilnya karena satu-satunya orang yang bisa memanggil dengan nama itu hanyalah Derish. Ia melambaikan tangannya ke udara, mencoba membuat Derish melihatnya.
Saat Derish berjalan ke arahnya, ia tersenyum. “Lo nyariin gue?” tanyanya.
Wajah Derish terlihat kesal bercampur khawatir. Namun, setelah melihat senyuman di wajah Tatjana, ia menghembuskan napas. “Gue pikir lo pergi.”
“Takut banget gue tinggalin ya?" Tanya Tatjana sambil tertawa.
"Gue seneng banget karena melihat pemandangan kayak gini,” katanya lagi yang kini terlihat kegirangan. Wajar saja Tatjana terlihat sangat gembira karena hampir tidak ada pemandangan hijau yang sangat luas seperti ini di Jakarta.
“Mau lihat sungai?” tanya Derish.
“Ada?”
Derish mengangguk dan menarik tangan Tatjana dengan lembut untuk mengikutinya menuju ke sungai yang selalu ia datangi saat masih kecil. Lagi-lagi, ia melupakan peraturan istana dengan memegang tangan Tatjana.
Letak sungai itu tidak telalu jauh dari tempat mereka sekarang. Bahkan, mereka sudah bisa mendengar gemercik air tidak jauh dari tempat mereka berada.
“Gue sering menangkap ikan di sini,” kata Derish setelah mereka tiba.
“Cantik banget,” gumam Tatjana lalu sesaat kemudian ia menatap Derish dengan tatapan menuduh. “Lo mengajak gue ke kerajaan ini supaya gue merasa terpukau ya?”
“Bisa jadi,” jawab Derish sambil membanu Tatjana untuk duduk di salah satu batu besar yang ada di sungai itu.
“Sombong,” balas Tatjana dan ia merendamkan kakinya ke air sungai.
Air di sungai ini terasa sangat sejuk, ia kembali menarik kakinya karena tidak ingin merasa kedinginan. Sekarang masih pukul delapan pagi dan udara disini masih sangat sejuk. Ia tidak ingin menggigil karena kakinya menyentuh air yang sangat dingin.
Sementara Derish yang sudah terbiasa dengan keindahan kerajaannya memilih untuk menatap keindahan dari makhluk hidup yang ada di sebelahnya ini. Ia selalu tersenyum setiap kali bibir Tatjana melengkungkan sebuah senyuman. Wanita ini sangat cantik dengan kebayanya, seolah ia memang harus memakai kebaya setiap hari.
“Lo gak marah karena gue masih manggil lo Derish aja, tanpa semua nama kerajaan lo itu?” tanya Tatjana sambil menoleh, membuat Derish salah tingkah untuk sesaat karena kedapatan sedang memandangi Tatjana.
Ia berdeham dan kini Tatjana merasakan kembali aura seorang pangeran mahkota dari Derish.
“Kan dari awal lo gak pernah memanggil gue dengan sebutan itu. Lo gak perlu merubah apapun,” jawab Derish.
Wanita itu menoleh. "Iya ya. Ngapain juga gue manggil lo kayak gitu. Gue pasti udah terlalu baper sama tempat ini. Oh iya, Payon Omah Dhami adalah satu-satunya bangunan yang akan gue tinggali."
“Payon Omah Dhami letaknya sangat jauh dari bangunan manapun, Ta.”
Tatjana mengangguk. “Biarin. Yang penting gue bisa menikmati pemandangan kayak gini setiap gue berada di sini.”
“Gue pikir lo akan marah-marah karena tempat tinggal lo terlalu jauh. Gue bahkan sudah berpikir kalau lo mau pindah ke Payon Omah lain.”
Tatjana menggelengkan kepalanya cepat-cepat. Ia membenarkan posisi duduknya dan menundukkan kepala lalu berkata, “Payon Omah Dhami adalah milik kulo, Raden Mas.”
Derish kembali terdiam ketika mendengar apa yang baru saja Tatjana katakan. Wanita itu berkata dengan sangat halus kepadanya dan pada saat itu, entah pada bagian mana dan pada detik yang keberapa, tiba-tiba hatinya merasa sangat yakin kalau Tatjana adalah calon Ratu-nya.
“Udah mirip belum sama orang di sini? Semalam gue dan Mbak Wahyuni bicara banyak soal Kadhaton ini,” kata Tatjana yang sekarang sudah kembali seperti Tatjana yang biasa ia kenal. "Gue gak mau tidur di kandang sapi."
“Ta,” panggil Derish membuat Tatjana menoleh. “Soal ciuman waktu itu..”
“Gue tahu kok,” potong Tatjana. “Lo suka sama gue, kan?”
Sekali lagi Derish terdiam mendengar kata-kata Tatjana yang begitu gamblang. Ia adalah pangeran mahkota dan sekarang ia selalu terlihat sangat bodoh di depan Tatjana.
“Gue gak mau mendengar kata-kata dari lo karena gue takut kalau nanti gue gak bisa menjawabnya. Jadi, sekarang, bisa kita pulang? Soalnya gue laper banget. Mbak Wahyuni tadi pergi dan ninggalin roti sama susu. Gue kan gak bisa makan gandum.”
“…”
“Ayo cepetan, Der. Masa istana lo besar ini enggak memiliki makanan lain yang bisa gue makan?” tanya Tatjana yang membuat Derish mau tak mau mengikuti keinginan Tatjana.
φ
“Gue harus menemui Eyang gue, Ta. Bisa lo makan sendirian?” tanya Derish setelah mereka tiba di Payon Omah Dhami. Seorang dayang sudah membawakan semangkuk sup rebus untuk Tatjana.
Sebelum Derish datang ke sini, ia sudah mengatakan pada kepala dapur kalau Tatjana tidak boleh memakan makanan dari gandum atau semua jenis makanan yang mengandung gluten.
“Gue bisa makan sendiri,” jawab Tatjana sambil tersenyum lalu menatap Derish yang ada di sebelahnya. “Gue gak tahu, Der.”
Derish balik menatap wanita itu, tidak mengerti dengan kalimat terakhir yang baru saja diutarakan ya. Kemudian, Tatjana kembali melanjutkan, “Gue gak tahu harus menjawab apa tentang pertanyaan yang ada di hati lo.”
“Gak apa-apa, Ta. Gue gak pernah mau memaksa lo.”
“Gue masuk dulu kalau gitu,” kata Tatjana pada akhirnya. Derish mengangguk dan menatap punggung Tatjana yang kian menjauh.
φ
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Bouquet
Historical Fiction#1 Historicalfiction (19/06/2021) Disclaimer: Kerajaan, adat dan semua yang ada di dalam cerita ini murni hanyalah imajinasi dari penulis dan tidak bermaksud menyinggung pihak mana pun. φ Blurb: "Tapi untung juga sih lo cuma seorang pangeran, bu...