Setelah lima puluh lima menit berlalu, semua penonton dibawa tertawa hingga à terdiam dengan pementasan yang mereka lihat. Catherine adalah gadis muda yang tidak pernah merasa sedih walaupun ia hanya tinggal sendirian dan harus merawat sebuah keledai yang sakit. Ia dengan senang hati merawat keledai itu, tanpa tahu kalau keledai itu adalah seorang pangeran dari kerajaan yang sudah disihir oleh seorang penyihir.
Penyihir itu ingin membuat kerajaan tidak memilki penerus dan akhirnya menghancurkan kerajaan itu sendiri. Derish tersenyum kecil, ini hanya dongeng. Tidak ada penyihir dan tidak akan ada manusia yang bisa menjadi keledai di zaman sekarang.
“Pangling saya, Raden Mas. Wanita biasa itu bisa menjadi seorang gadis polos. Ndak badas seperti kulo melihatnya waktu itu.”
“Dia sangat pintar bermain peran,” jawab Derish lagi tanpa menatap Elijah yang ada di sebelahnya. Ia tengah menantikan satu adegan dimana Catherine dan Edward bertemu kembali, saat Edward akan mencium Catherine. Saat Anjas akan mencium Tatjana.
“Cath.”
Setelah mereka bedua selesai bernyanyi, tiba-tiba tangan Edward memeluk pinggang Catherine. Sekali lagi, Derish dapat melihat tatapan polos yang penuh dengan cinta yang diberikan Tatjana kepada Anjas, membuatnya merasa kesal.
“Hm?”
“…”
“…”
Sekarang Derish ingin melompat ke atas panggung ketika Edward akan mencium bibir Catherine. Walaupun ia tahu kalau mereka tidak benar-benar berciuman, namun ia merasa tidak nyaman dengan interaksi antara dua orang di atas panggung itu.
Mereka tidak akan berciuman, batin Derish. Namun, mengapa hingga sekarang lampu tidak menyala, seperti yang ia lihat pada sesi latihan? Seharusnya sekarang lampu menyala untuk mengakhiri pertunjukan.Derish tidak dapat berkedip ketika bibir Anjas benar-benar menyentuh bibir Tatjana. Ia tahu kalau Tatjana berusaha untuk mundur. Namun, tangan Anjas pada pinggangnya membuat wanita itu tidak dapat bergerak. Gemuruh tepuk tangan penonton mengisi seisi auditorium. Ia tidak tahu apakah penonton benar-benar melihat yang sebenarnya terjadi, bahwa sekarang Anjas sedang menyerang Tatjana dengan ciumannya karena mereka berdua tertutupi oleh banyak sekali penari.
Tapi Derish tahu, ia tahu dan ia melihat dengan sangat jelas bahwa sekarang Tatjana sedang berusaha keras melepaskan dirinya. Mungkin orang lain tidak melihat karena terpukau dengan tarian terakhir atau dengan lampu warna-warni yang berpijar. Tapi Derish melihatnya, karena satu-satunya fokusnya sekarang adalah Tatjana.
Saat lampu benar-benar menyala sepenuhnya, saat semua tarian berhenti, saat itu pula Anjas melepaskan tangannya pada pinggang Tatjana. Sekali lagi, ia dapat melihat kalau wajah wanita itu berubah marah dan matanya berair.
Apakah Tatjana terluka?
Derish berdiri saat Tatjana meninggalkan panggung lebih cepat dari siapapun padahal mereka belum menyebutkan nama dan peran masing-masing untuk memberikan salam penutup.
“Elijah, bisa kamu pulang sekarang?” tanya Derish.
“Raden Mas mau ke mana? Kulo ke apartemen Raden Mas?”
“Jangan ke apartemen saya,” jawab Derish lalu ia meninggalkan Elijah begitu saja. Seharusnya ia memukul Anjas terlebih dahulu tapi yang terpenting baginya sekarang adalah menemukan Tatjana.
Ia keluar dari auditorium dan tidak menemukan Tatjana. Akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke ruang rias. Namun, saat ia tiba di sana, ia sama sekali tidak menemukan Tatjana.
“Apa kamu melihat Tatjana?” tanyanya kepada entah siapa.
“Dia tadi keluar, enggak tahu ke mana.”
Derish menghela napas lalu menghampiri kursi Tatjana dan mengemas semua barang-barangnya. Bahkan dia masih menggunakan sepatu tingginya, kemana dia pergi?
φ
Setelah sekian lama mencari keberadaan satu orang di tengah lingkungan kampus yang sangat luas di malam hari, akhirnya ia menemukan wanita yang ia cari. Hanya ada satu wanita yang berani pergi ke tempat ini sendirian di tengah malam seperti ini, dengan pakaian seperti seorang tuan putri. Hanya Tatjana.
“Hei, gue nyariin lo ke mana-mana ternyata lo ada di sini,” kata Derish sambil duduk di sebelah Tatjana. Kaki mereka menggantung di pinggiran jembatan itu.
Di kampus ini, ada sebuah jembatan yang menghubungkan dua gedung kampus. Jembatan yang terkenal angker bahkan di siang hari. Dari angkatan ke angkatan, tidak ada yang berani berjalan sendirian di jembatan ini dan semua orang memanggilnya dengan sebutan Jembatan Texas.
“Ngapain lo nyariin gue?” tanya Tatjana.
Kini wajah Tatjana yang disinari oleh lampu jalan sudah kembali menunjukkan raut Tatjana biasanya, bukan raut marah bercampur air mata seperti yang ia lihat tadi. Sekarang Derish mengerti kalau raut yang selama ini Tatjana tunjukkan bukanlah raut asli yang ia miliki.
“Lo pergi dari atas panggung bahkan sebelum nama lo disebutkan,” kata Derish.
“…”
“Lo marah waktu Anjas mencium lo?” tanya Derish.
“Apaan sih..” gumam wanita itu.
“Katanya lo sudah biasa berciuman?”
Tatjana sama sekali tidak menjawab, ia hanya menarik tas miliknya dari tangan Derish dan mencari sesuatu dari dalamnya. Setelah ia menemukannya, ia mengeluarkan benda itu, tisu basah.
Derish memperhatikan apa yang sedang Tatjana lakukan, yaitu sedang mengelap bibirnya dengan sangat kuat menggunakan tisu basah itu. Kini ia juga baru menyadari kalau selama ini, dugaannya benar. Bahwa Tatjana tidak pernah berciuman dengan lelaki manapun.
Pikiran itu membuatnya tersenyum kecil.
“Ta,” panggil Derish. Namun, sekali lagi Tatjana tidak mendengarkan. Ia justru mengelap bibirnya semakin kuat. “Ta, apa yang lagi lo lakuin?”
“Membersihkan bibir gue,” jawab Tatjana kemudian ia berdiri. “Anterin gue pulang.”
Derish tidak menjawab lalu ia memberikan flat shoes milik Tatjana untuk dipakai. “Pake ini aja. Kasihan kaki lo udah dipake nari-nari di atas panggung tadi dengan sepatu tinggi itu.”
φ
Setibanya di dalam mobil, Tatjana masih berusaha untuk membersihkan bibirnya sendiri dengan tisu basah yang sudah berkali-kali ia ganti. Wanita ini menjadi lebih diam, membuat Derish tahu kalau ia sedang tidak baik-baik saja.
“Tatya,” panggil Derish membuat Tatjana menghentikan aktivitasnya. “Memangnya bekas bibir Anjas masih bisa lo rasain?”
“Gue..” kata Tatjana pada akhirnya dengan suara bergetar, tanda ia akan menangis. “Gue gak mau ada rasa bibir dia sedikitpun di bibir gue.”
Kemudian Tatjana benar-benar menangis bahkan sebelum Derish melajukan mobilnya. Ia mematikan lampu mobil dan menatap Tatjana. “Menghapus dengan cara kayak itu gak akan menghilangkan rasa bibir dia dari pikiran lo, Ta.”
Tatjana menoleh, balik menatap Derish. “Jadi harus gimana?” tanyanya seperti anak kecil yang merajuk. “Gue gak mau lagi memikirkan itu.”
Derish melepaskan seat belt yang sudah ia kenakan lalu berkata, “Gue punya cara.”
Ditatapnya wajah Tatjana yang masih saja cantik meskipun riasannya hampir luntur karena air mata. Kemudian ia mendekatkan wajahnya ke wajah Tatjana lalu mencium bibi itu. Ia dapat merasakan aroma tisu basah pada bibir Tatjana dan dengan pelan, ia memperdalam ciumannya, meminta bibir wanita itu untuk membuka.
Derish menatap mata Tatjana yang mulai terpejam dan tangannya yang mulai menggenggam lengan kemeja yang Derish kenakan. Saat bibir itu akhirnya membuka, Derish tidak dapat berpikir dengan benar karena sekarang ia sudah merubah ritme ciumannya menjadi lebih cepat.
Napas Tatjana terengah, ia dapat mendengarnya. Namun, ia tidak akan menghentikan ini karena sekarang mereka bagaikan magnet dengan dua kutub yang berbeda. Ia tidak tahu siapa yang menjadi utara dan siapa yang menjadi selatan. Yang pasti, setiap salah satu dari mereka bergerak, yang lain akan mengikuti.
“Lo cuma bisa mengingat ciuman ini sekarang, Ta.”
φ
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Bouquet
Fiction Historique#1 Historicalfiction (19/06/2021) Disclaimer: Kerajaan, adat dan semua yang ada di dalam cerita ini murni hanyalah imajinasi dari penulis dan tidak bermaksud menyinggung pihak mana pun. φ Blurb: "Tapi untung juga sih lo cuma seorang pangeran, bu...