BAB 50

1.1K 190 11
                                    

"Ibu," panggil Derish ketika sambungan telepon terhubung dengan ibunya.

Malam ini, ia menginap di rumah Tatjana karena hari sudah sangat larut ketika pembicaraan mereka di meja makan tadi berakhir. Derish merasa kecewa dengan dirinya sendiri karena ia tidak bisa menjanjikan apapun kepada orangtua Tatjana, untuk membuat hati mereka tenang.

Ia tidak bisa menjanjikan kebahagiaan apapun kepada Tatjana dan selama pembicaraan tadi, ia lebih banyak diam. Entah mengapa, segala yang diucapkan oleh Nataline terasa sangat benar di telinga Derish.

"Raden Mas," jawab Araya dari ujung sana. "Apa semua baik-baik saja? Seharusnya kamu meminta Ibu dan Bapak untuk ikut serta ke rumah orangtua Tatjana."

"Maaf Ibu. Awalnya Derish merasa kalau Derish bisa melakukannya sendiri."

"Apa yang terjadi, Nak?" tanya Araya lagi.

Keadaan di istana cukup sulit karena semua orang tahu kalau Derish meninggalkan istana tanpa pengawasan dari siapapun.

"Apakah Derish bisa membuat Tatjana bahagia, Bu? Apakah Derish terlalu egois dengan menginginkan Tatjana berada di sisi Derish?"

Terdengar helaan napas dari ujung sana. "Yang terpenting adalah, cintamu kepadanya bisa membuatnya merasa hidup walaupun di dalam istana yang sangat asing baginya."

"..."

"Raden Mas," panggil Araya. "Entah apakah hanya Ibu yang merasakannya. Tapi, Tatjana sepertinya sudah menemukan tempatnya di Kadhaton ini. Kadhaton seolah sudah menerimanya—bukan—kadhaton seolah sudah menunggunya."

Pada saat itu, pintu kamar Derish terbuka dan Tatjana berdiri dengan baju tidurnya. Ia melangkah dengan leluasa dan masuk ke dalam selimut lalu memeluk Derish yang sedang duduk bersandar di kepala ranjangnya.

Derish hanya tersenym dan mengatakan kepada ibunya kalau ia akan menelepon lagi nanti.

"Hei," kata Derish sambil memeluk Tatjana. "Kenapa?"

"Maafin orangtua aku ya. Harusnya keluarga kamu yang kayak gini. Kan kamu pangerannya. Tapi mereka benar-benar nerima aku."

"Wajar kalau Tante Nataline meragukan aku, Ta."

Tatjana cemberut dan mengangkat kepalanya. "Pangeran, kamu harus memperjuangkan aku dong."

Derish tersenyum mendengarnya. Seharusnya, seperti kata ibunya, ia membawa kedua orangtuanya. Seharusnya, ia menggunakan kekuasaannya untuk bicara dengan orangtua Tatjana. Namun, sekali lagi, ia hanya ingin mengatakannya sendiri. Ia ingin melamar Tatjana dengan dirinya sendiri. Sebagai Derish dengan kemejanya, bukan sebagai pangeran dengan baju kerajaannya.

"Aku gak mau egois, Ta."

"Sebagai seorang pangeran, kamu emang gak boleh egois. Tapi sebagai manusia, sebagai cowok yang mencintai Tatjana Ruby Suwaryono, kamu harus egois dan memperjuangkan aku."

Ya. Tatjana benar. Sebagai seorang lelaki yang mencintai seorang Tatjana, seharusnya ia memperjuangkan wanita ini. Sudah cukup Tatjana berjuang untuk dirinya dengan mencoba menempatkan diri di dalam istana.

"Pinter," kata Tatjana sambil tersenyum karena melihat perubahan di wajah Derish. "Udah ah. Jangan suruh aku  ngejer kamu dong. Harusnya, kamu yang ngejer aku."

Derish tertawa dan mengeratkan pelukannya. "Ta. Libur kita tinggal satu bulan lagi. Kamu mau lanjut kuliah?"

Tatjana menganggukkan kepalanya. "Aku mau lanjut kuliah. Karena akan menjadi istri seorang raja, seenggaknya aku harus berpendidikan di mata orang."

The Perfect BouquetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang