Dulu, Ayahku selalu mengira aku gay.Memang tidak ada yang salah dari itu—itu opiniku sendiri, tapi nampaknya gay adalah masalah besar. Aku tumbuh di keluarga yang bisa dibilang toxic, yang keluar dari mulut mereka hanya keburukan orang lain di saat masih banyak kebaikan yang bisa dibicarakan.
Tumbuh di keluarga yang biasa-biasa saja, dengan kapasitas otak ku yang biasa-biasa saja, sifat yang biasa-biasa saja, tapi teman yang lebih sedikit dari yang seharusnya membuat banyak orang yang bicara busuk di belakangku.
Aku sadar, tapi masa bodoh.
Mereka berbicara tentang betapa menyedikannya aku—saat itu aku keluar dari kamar saat ada acara keluarga besar setelah beberapa hari mengunci diri di kamar menghindar dari Ayahku karena nilai jelek. Beberapa dari mereka menatapku iba, katanya aku tidak punya kehidupan.
"Jeffrey, apa kau gay? Kenapa masih belum punya kekasih?"
"Sepertinya dia memang gay."
"Kau harus mencari kekasih, Jeff, mungkin itu yang akab membuatmu bersemangat."
Mereka tertawa, aku biasa saja, lebih memilih mengoleskan selai stoberi di atas roti panggang.
Kalaupun aku gay, apa yang salah dari itu?
Ayahku nyaris tidak pernah ibadah, ibuku entah agamanya apa. Aku? Aku bahkan tidak mengerti konsep agama, tidak ada yang mengajariku, dan lihat mereka berbicara seolah paling benar.
Kenapa mereka mempermasalahkan dan menuduh seseorang adalah gay padahal ibadah saja tidak? Konyol.
Lama-lama aku kesal.
Jadi saat itu aku mengajak seorang gadis ke rumahku, aku mengaku menyukainya, dan kami berkencan karena dia benar menyukaiku sedangkan aku memanfaatkannya untuk menutup mulut keluargaku.
Saat itu aku sama sekali tidak paham apa yang harus dilakukaan saat berkencan, jadi kami hanya berdiam di ruang tamu, aku membaca komik horror sedangkan dia duduk membisu.
"Jeff."
"Hm."
"Bagaimana kalau kita ke kamarmu saja? Aku takut orangtuamu melihat."
"Memang kenapa?"
"Ini tidak terasa seperti berkencan ... kau tahu, ini rasanya seperti aku temanmu yang sedang bermain ke rumahmu."
Aku tidak akan membiarkannya masuk ke kamarku. "Di sini saja."
"Ayolah." Dia menggeser duduknya jadi di sebelahku, badannya menempel pada lenganku. Dan saat tangannya menyentuh pahaku, aku memukul pipinya.
Plak!
"Pergi."
Matanya membola, memegangi pipi sendiri. "A-apa?"
"Pergi, sialan." Aku berdiri, menariknya kasar lalu menyeretnya keluar. Kesal, tentu saja, apa-apaan rabaan pada pahaku itu? Dia orang cabul atau semacamnya?
Aku sangat kesal jika disentuh—
Tunggu,
Apa?
Note: buntu bgt ni cerita, bingung endingnya gimana
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐖𝐞𝐢𝐫𝐝𝐨𝐬❜🪵
Fanfiction𝐑𝐨𝐬𝐞 𝐱 𝐉𝐚𝐞𝐡𝐲𝐮𝐧 ❝Jeffrey yang aneh bertemu Rosé yang sama anehnya.❞ Inspired by a Netflix's series The End of The F***ing World.