"Sesampainya di sana nanti, apa yang akan kau lakukan?""Entahlah."
Kami duduk bersebelahan, Rosé tidak bersuara lagi setelah bertanya, menoleh ke jendela bus. Saat pulang nanti apa yang aku lakukan? Jawaban tadi bukan omong kosong, aku benar-benar tidak tahu akan melakukan apa.
Butuh waktu kurang dari satu jam untuk pihak sekolah mendatangi rumahku setelah kami kabur kemarin, dan aku yakin tidak akan ada yang membuka pintu rumah, Ayah sedang mabuk di rumah temannya.
Apakah aku benar-benar jadi buronan? Maksudku, luka Lucas tidak mungkin separah itu, dan aku masih di bawah umur.
Entahlah, aku tidak mengerti soal hukum.
Tapi bukan berarti aku tidak pernah terlibat. Umurku 13 saat aku mencekik teman sekelasku dengan tali sepatu sampai kehilangan kesadaran setelah kupukuli dengan tangan kosong. Tulang rusuk dan hidung patah, tulang kering retak, dua gigi lepas.
Perlindungan anak di bawah 14 tahun, aku hanya perlu mengakui kesalahan dan berdalih bahwa aku yang sering dipukuli dia—dan itu benar adanya—dan menulis surat penyesalan. Beres.
Tapi kali ini berbeda.
Umurku 17 tahun, Lucas tidak pernah menggangguku, tindakan Lucas tidak bisa disalahkan secara hukum terlebih karena Rosé sendiri yang mengirimkannya.
—atau mungkin bisa. Sekali lagi aku tidak mengerti hukum, dan kalau pun tindakan Lucas juga salah di mata hukum, tetap bukan alasan untuk melemparnya dari lantai 3 bagi mereka.
Yang pasti, setelah sampai di kota kami, aku akan pulang ke rumah—
Tunggu,
"Rosé, kau pulang ke rumahku."
Rosé menoleh, lalu tersenyum. "Oke, sepertinya menyenangkan."
Butuh waktu kurang dari 2 jam sampai pemandangan di jendela terlihat familiar, artinya kami sudah di tujuan.
Dan butuh waktu kurang dari 5 menit untuk menghajar pria tak dikenal yang kelihatannya seumuranku sampai akhirnya kami diusir, aku menarik lengan Rosé saat didorong keluar oleh supir bus, keadaan bus berantakan, tidak ada yang nampak memperhatikan perempuan manis yang ikut denganku.
Begitulah cara kami naik bus tanpa bayar, kalian cobalah kapan-kapan.
Sekarang kami berjalan di trotoar, menuju rumahku tentunya, tidak akan memakan waktu lama kalau saja aku bisa melangkah lebar, tapi aku menyamakan langkahku dengan milik Rosé yang kecil.
"Apa yang akan terjadi padaku? Soal si Brengsek Wood." Tanyaku. Jangan salah paham, ini bukannya aku takut atau omong kosong lainnya, aku hanya penasaran.
"Paling berat adalah kau akan dikirim ke Pusat Detensi Remaja, paling ringan adalah pihak sekolah melindungimu—seperti yang mereka lakukan pada puluhan pelaku bully di sekolah dari dulu sampai sekarang," jawab Rosé tanpa mengalihkan pandangan.
"Apa Lucas Wood mati sampai-sampai aku harus dikirim ke Pusat Detensi Remaja?" Aku terkekeh.
"Benturan di kepala, sepertinya nyaris terkena bagian vital, dan kau mencekiknya, melemparnya dari lantai 3 dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki: tulang leher patah, tulang punggung retak, kepala terbentur lagi, kemungkinan tangannya juga patah karena dia mendarat dengan tangan mengarah ke belakang, dan jangan buat aku memulai dengan luka retak serta lebam lainnya."
Tidak terdengar buruk.
Seolah mendengar suara batinku, Rosé bersuara, "tidak akan buruk bagi mereka yang tidak menjadikan baseball satu-satunya masa depan."
Oh.
Oh.
Sepertinya aku berada dalam sedikit 🤏🏻 masalah.
"Setidaknya yang patah bukan kaki, itu bagian vital, kan?"
"Dia adalah pitcher terbaik di sekolah, dan tangan yang mengarah ke belakang saat kau melemparnya adalah tangan kiri ... dia kidal."
"Well, kelihatannya dia harus beralih ke sepak bola."
Rosé berusaha menahan senyumnya, lalu menoleh. "Aku akan sering mengunjungimu di Pusat Detensi Remaja nanti."
"Ayolah, ini tidak begitu parah."
"Universitas olahraga ternama di ibu kota sudah menjanjikan sebuah kursi untuk Lucas!" Rosé agak meninggikan suaranya, tapi dia tidak terdengar serius, terbukti dengan suara tawa yang menyusul.
"Sebaiknya universitas itu menyisakan kursi kosong di jurusan sepak bola." Aku merogoh kantong dan menemukan sebatang rokok dan lighter.
Setelah membakar ujung rokok itu, aku menghisapnya sambil menggerutu, "sialan, kenapa baseball dari semua jenis olahraga?"
"Berikan aku satu."
"Apa?"
"Rokok."
"Kau tidak merokok."
"Oh? Kau ayahku atau semacamnya?"
Aku berdecak. "Tidak ada lagi," ucapku sebelum tangan lentik Rosé merebut rokok itu dari bibirku, dan menghisapnya, kepala itu terdongak saat menghembuskan asap. Leher jenjang Rosé terekspos dan side profile nyaris sempurna, pemandangan yang lumayan.
Aku menahan tengkuk Rosé dan menunduk untuk memberikan ciuman yang tidak terlalu singkat. Dia membalasnya, kepala masih terdongak saat aku menjauh.
"Mulutmu pahit," ucapku.
"Kau pikir milikmu tidak?"
"Buka mulut dan julurkan lidahmu."
"Apa?"
"Sepertinya ada yang salah dengan pahit di mulutmu. Kemari, biar aku periksa."
Rosé memutar bola matanya, menggerutu sebelum membuka sedikit mulut sambil menjulurkan lidah pendeknya yang langsung aku sambut dengan baik,
"Ah, sialan."
Note:
Seems like Jeffrey's getting in the lead 🤷🏻♀️
Btw cmiiw kalo gw ada salah tentang luka yang kemungkinan diderita Lucas setelah jatoh dari lantai 3
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐖𝐞𝐢𝐫𝐝𝐨𝐬❜🪵
Fanfiction𝐑𝐨𝐬𝐞 𝐱 𝐉𝐚𝐞𝐡𝐲𝐮𝐧 ❝Jeffrey yang aneh bertemu Rosé yang sama anehnya.❞ Inspired by a Netflix's series The End of The F***ing World.