212121

1.9K 417 42
                                    


Cuaca lebih cerah dibanding kemarin, awan tidak terlalu banyak, membiarkan sinar matahari menyiram kota, kami check out jam 11 siang, mampir ke restoran chicken and waffle yang kemarin sore kami kunjungi dan tadi pagi kami makan.

Kali ini kami makan di tempat. Selama di restoran yang agak ramai itu Rosé menceritakan masa kecilnya, dari orangtua kaya yang terobsesi mempunyai anak seorang model sampai pamannya yang tidak lebih baik dari sampah.

Nafsu makanku hilang saat Rosé menceritakan bagaimana pamannya memperkosa, wangi waffle tidak lagi menggoda, seperti ada batu yang menahan dadaku dan aku tidak tahu kenapa.

Biasanya aku tidak pernah terganggu oleh apa pun, mengingat dulu aku pernah menikam anak anjing menggunakan garpu beberapa kali dan menggunakan garpu yang sama untuk makan spaghetti setelahnya, hanya dilap dengan selembar tisu.

Tapi kali ini nafsu makanku hilang, padahal garpu yang kupakai tidak bau anyir darah anjing.

15 menit kemudian kami selesai makan, Rosé memakan jatahku juga. Ia memanggil pelayan untuk bayar lalu membuka dompet hasil curian kemarin.

Pelayan wanita menghampiri kami.

Aku menatap Rosé sambil bersedekap, perempuan itu masih melihat isi dompet, lalu sepasang mata cantiknya melirik ke arahku dengan kepala yang tidak bergerak sedikitpun, masih menunduk.

"Ada apa?" Tanyaku.

Ekspresi mengeluh terlihat jelas di wajahnya. Dia meletakkan dompet itu, sepasang telapak tangan yang setengah tenggelam di dalam windbreaker itu saling bertautan, bergerak gelisah.

"Uang kami tidak cukup ..." cicit Rosé

Pelayan itu terkekeh canggung, matanya melirik ke pelayan yang lain, aku menatapnya datar. "Apa yang bisa kami lakukan untuk membayar makanan ini?" Tanyaku sembari mengambil dompet hasil curian itu.

"Eh? Eum ... akan saya tanyakan dulu—"

"Tunggu." Aku menahan tangannya, mataku melirik ke wajahnya yang tidak cantik-cantik amat dibanding Rosé tepat saat pipi itu memerah.

Aku sengaja melepas genggaman tanganku dengan lembut, nyaris seperti mengelus, lalu beranjak berdiri di hadapannya. Pendek, dia hanya se-bahuku, aku sengaja berdiri agak dekat, lalu memberikan sisa uang yang di dalam dompet.

Menatap mata pelayan itu lamat-lamat. "Apa yang harus kami lakukan? Uangnya tidak cukup."

Wajah di hadapanku makin memerah, sampai ke kuping, dan rasanya aku ingin tertawa saat melihat rona merah itu menjalar ke lehernya juga.

Aku tahu aku tampan.

Aku juga tahu cara mmeanfaatkannya.

"Eh? Anu ... ti-tidak usah! Lagipula hanya dua porsi, tidak usah bayar juga tidak apa-apa, hehe."

"Benarkah?" Aku tersenyum senang—pura-pura tentunya.

"Iya! Eh itu ... eumm, nomormu—"

"Ayo, Rosé." Aku menarik lengan Rosé dan segera keluar dari restoran itu, di balik pintu kaca aku bisa melihat pelayan yang tadi masih berdiri mematung dengan keadaan wajah yang sama.

Aku mengedipkan sebelah mata ke arahnya, lalu menggerakkan jari telunjuk dan jari tengah di ujung alis, gestur memberi hormat singkat.



10 langkah menjauh dari restoran, aku menoleh ke yang lebih pendek sebelahku. "Bagaimana kemampuan menggodaku, Master of seducer?"

Senyum Rosé mengembang. "Lumayan, tapi kurang kontak fisik."

"Seperti ini?" Tanganku meremas bokongnya.

"Anderson!!!"









Note;

Manis-manis dulu ya sis

𝐖𝐞𝐢𝐫𝐝𝐨𝐬❜🪵Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang