Perasaan sedih, bagaimana rasanya?
Oh, bahkan aku tidak tahu harus sedih terhadap apa. Sejak kecil, aku jarang bertemu orang. Yang paling sering adalah ibu, itu pun hanya sebentar, wajah datar ibu-lah yang paling aku ingat.
Tidak seperti bayi lain yang sering melihat berbagai macam emosi, aku tumbuh di hadapan wajah datar ibuku, dan tentu saja tumbuh dengan wajah datar itu juga.
Aku bahkan tidak TK, langsung SD, langsung berhadapan dengan banyak orang di umur 6, terasa drastis, tentu saja aku kaget, suara berisik di sekolah sangat berkebalikan dengan sunyi di rumah.
Saat pertama kali sekolah, aku menutup kupingku rapat-rapat, sangat berisik, dan saat itu segerombolan anak laki-laki yang badannya jauh lebih besar dariku menghampiri, dan tiba-tiba memukulku.
Itulah emosi yang pertama kali aku lihat dengan mata sendiri; marah.
Sepulang setelah aku dipukuli di sekolah, setelah aku melihat orang sangat marah dan memukulku,
Aku melakukannya pada hewan peliharaan.
Anak anjing pertama yang aku pukul, namanya snowball, bulunya tebal dan putih, aku menendangnya saat dia menyapaku di pintu sepulang sekolah, alis dan hidungku mengkerut kesal seperti anak laki-laki yang memukulku tadi.
Dan aku melakukannya lagi dan lagi: menendang, memukul, membentak, mencekik, menusuk.
Aku melakukan apa yang dilakukan segerombolan anak laki-laki itu padaku tiap minggu. Aku bahkan tidak merasakan apa-apa lagi saat berkaca di kamar mandi, menatap wajahku yang lebam, dan memilih tidak peduli, pulang sekolah seperti biasa, ibuku tidak kaget melihat wajahku, dia juga tidak peduli.
Umurku 12 tahun saat aku pulang kehujanan setelah dipukuli. Bukan hal yang baru. Saat aku membuka pintu, wajah lebam ibuku menyapa, terdengar isakan kecil, di belakangnya ada ayah sedang menggenggam tongkat baseball. Aku menatapnya datar, tidak peduli.
Sama seperti ibu yang tidak peduli saat aku dipukuli.
Dan saat aku memikirkan masa kecilku lagi, aku hanya bisa tertawa.
How pathetic.
Bocah kecil yang tidak pernah berhadapan dengan banyak orang sampai umur 6, diurus oleh ibunya yang membisu sambil menatapnya datar.
Bahkan aku mulai lancar bicara saat kelas 2 SD, karena rumahku selalu sunyi, aku tidak diajari cara berkomunikasi, hanya dikasih makan, mandi, dan tidur selama 5 tahun pertama aku hidup.
Bertahun-tahun melewati masa-masa menyedihkan, sampai akhirnya aku dihadapai oleh satu perempuan ini.
Dia menangis di hadapanku, bahkan setelah kami kabur dari bus dan duduk di salah satu kursi di pinggir trotoar.
"Hiks."
"Berhentilah menangis."
Aku menatap lurus ke depan. Jalanan sepi, entah ini di mana, aku tidak memperhatikan sekitar saat Rosé memelukku di bus tadi.
Rosé berhenti terisak, dia menyender lesu.
"Anderson."
"Hm?"
"Kapan kau akan bunuh diri?"
Aku terdiam sebentar, laku bertanya, "apa?"
Rosé menoleh ke arahku, lalu menyungging senyum kecil yang dapat aku lihat di ekor mata. "Ayolah, aku tahu kau sudah putus asa. Keluarga yang tidak harmonis, tidak punya teman, nilai jelek, kan?"
"Dibully, terlilit utang juga," sambungku, Rosé tertawa.
"Aku memang kelihatan menikmati hidup, tapi kau tahu? 12 februari, aku akan bunuh diri di tanggal itu."
"..."
"Itu hari ulangtahunku. Jadi nanti saat orangtuaku masuk ke kamar sambil membawa kado untuk kejutan, yang mereka dapati adalah badanku yang tergantung. Keren, kan?"
"Sangat terencana. Lumayan."
"Kau?"
"Tahun baru. Aku tidak terlalu memikirkannya, tapi mungkin aku akan menikam diri sendiri dengan pisau di halaman depan rumah yang bersalju."
Aku menoleh ke arahnya, kami bertatapan, lalu aku tersenyum.
"Warna merah darah dan putih salju terlihat indah, kan? Tetanggaku pasti akan suka."

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐖𝐞𝐢𝐫𝐝𝐨𝐬❜🪵
Fanfiction𝐑𝐨𝐬𝐞 𝐱 𝐉𝐚𝐞𝐡𝐲𝐮𝐧 ❝Jeffrey yang aneh bertemu Rosé yang sama anehnya.❞ Inspired by a Netflix's series The End of The F***ing World.