"We should have sex.""Sekarang?"
"Iya, lepas pakaianmu."
Mataku sedikit membola, apa dia sudah gila? Sontak aku menggeleng. "Tidak mau."
Uh, kenapa ini semua terdengar bodoh?
Rosé tertawa sambil menggeleng. "Kau benar-benar berpikir aku mau melakukannya sekarang?" Tanya dia di sela-sela tawa, tapi wajahku masih terasa kaku karena tangannya masih ada di pahaku.
"Bagaimana kalau berciuman? Aku ingin merasakannya."
Kenapa dia sangat frontal?
"Kau jadikan aku kelinci percobaan?"
"Iya." Rosé menggeser duduknya makin menempel padaku dan tepat saat itu rasanya udara di sekitar makin menipis, entah kenapa. Tangan lentiknya menarik tengkukku dan menempelkan bibirnya pada bibirku.
Aku manatap sepasang mata Rosé yang terpejam saat bibirnya mulai bergerak. Entahlah, biasa saja, walau ini yang pertama kali.
Tidak ada desiran-desiran aneh seperti di serial drama yang sering ibuku tonton dulu. Semuanya datar.
Aku ingin jatuh cinta.
Tapi sepertinya mustahil, jadi daripada memaksakan, tanganku merambat memeluk pinggang rampingnya—sangat ramping, pas untuk tangan besarku.
Sayangnya, ciuman kami terlepas sedetik setelah tangaku ada pada pinggangnya. "Watch your hands," ucapnya, seolah tangan lentik yang bergerak di pahaku bukan miliknya.
Aku diam, kembali menghadap lurus ke depan dan lanjut memakan eskrim.
"Kau tidak merasakan apa pun?"
"Tidak."
Rosé tidak berusara lagi setelah itu, kepalanya malah menyender di pundakku, sesaat keadaan ini seperti di film-film, tapi kalau ini di film seharusnya kami orang Amerika—orangtuaku asli Inggris, dan Rosé, kan, katanya berdarah Australia.
Tapi aku tinggal di Amerika selama 4 tahun.
Aku mendengar helaan napas Rosé. Mungkin gadis itu lelah karena aku diam saja sedaritadi, tidak masalah. "Sulit dipercaya," gumamnya sambil terkekeh kecil.
Rosé bangkit dari duduknya, lalu berdiri di hadapanku, dia mengeluarkan buku tulis kecil dan pulpen dari dalam tas dan disodorkan padaku. "Ini, tulis nomor ponselmu."
"Aku tidak punya ponsel."
Rosé terdiam sebentar, lalu dengan perlahan mengembalikan buku ke dalam tas. "Anderson."
"Ya?"
"Aku menyukaimu, benar-benar menyukaimu. Kita berkencan, kan, mulai sekarang?"
Aku tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran gadis itu, dia memang terlihat biasa—walau cantiknya luar biasa, tapi sore itu aku menyadari tatapannya berbeda dari yang lain.
Aku tidak menjawab.
"Terserah kalau kau tidak menyukaiku, aku hanya ingin memberitahu sesuatu." Rosé menarik tanganku lalu menulis deretan nomor di sana, geli, tapi aku hanya bergeming.
"Itu nomor ponselku, hubungi aku saat kau butuh, dan aku—kau tahu, mudah." Rosé memasukkan tangannya ke saku. "Cukup mudah untuk berada di bawah selimut yang sama denganmu kapanpun kau mau."
Aku mengerti arah bicaranya, jadi aku diam saja, menatap wajah cantik yang tersiram cahaya oranye lembut matahari sore, memanjakan mata, dan bibirku menyungging senyum kecil.
"Kau tahu, Rosé? Aku sering masturbasi."
Kedua alis Rosé terangkat, mungkin kaget karena aku tiba-tiba bilang begitu, dan aku melanjutkan,
"Tapi aku akan berhenti melakukannya setelah bertemu denganmu."
Aku akan berpura-pura menyukainya, memakainya, lalu membunuhnya.
Rosé sangat naif, pasti mudah dibodohi.
Note;
tEeN roMaNce 🤩🥰😝😍😫🥵

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐖𝐞𝐢𝐫𝐝𝐨𝐬❜🪵
Fanfiction𝐑𝐨𝐬𝐞 𝐱 𝐉𝐚𝐞𝐡𝐲𝐮𝐧 ❝Jeffrey yang aneh bertemu Rosé yang sama anehnya.❞ Inspired by a Netflix's series The End of The F***ing World.