Chicken and waffle yang dibeli kemarin lupa kami makan, setelah menghabiskan satu jam lebih di kamar mandi, kami langsung tertidur. Paginya aku terbangun karena merasa lenganku kosong, ternyata Rosé sedang memakan makanan yang niat awalnya menjadi makan malam kami itu.Rumahku memang sunyi, begitu juga lingkungan sekitarnya, tapi tiap pagi selalu ada suara burung berkicau pelan, berbeda dengan suasana pagi ini yang sangat sunyi.
Rasanya seperti dunia menghilang di balik tembok kamar.
Tidak ada suara penghangat ruangan karena memang benda itu tidak ada di sini, Rosé mengunyah tanpa suara sedikitpun, terlalu sunyi sampai aku mengira aku tuli saat bangun tadi.
"Masih enak?"
Rosé menoleh, dia tidak menjawab, tapi meletakkan jatah makananku di depan miliknya, mengisyaratkanku untuk duduk berhadapan.
Kami duduk di lantai, omong-omong.
Rosé terlihat cantik bahkan setelah bangun tidur. Rambutnya agak berantakan, pipinya terlihat lebih bulat dari yang biasa, dan yang terbaik tentu saja paha mulusnya yang terekspos bebas karena dia hanya memakai celana dalam.
Aku bisa mengulang pagi sunyi ini seribu kali dan tetap menikmatinya.
Ayam goreng tepung yang sudah lembab, waffle yang dingin, sirup maple yang terasa murahan, tidak ada lezatnya tentu saja kalau dibandingkan dengan perempuan di hadapanku ini—
Oh, apa yang aku pikirkan? Menjijikan, apa-apaan itu tadi?
"Ayamnya tidak enak," ucap Rosé. "Yang enak hanya wafflenya."
"Tukar waffleku dengan ayammu."
Rosé tersenyum. Aku tidak ingin melihat senyumnya, sungguh, senyuman penuh sial yang membakar wajahku.
"Terimakasih."
Aku tidak menjawab, menggigit ayam milik Rosé yang sudah sisa setengah. Sangat tidak enak. Dingin, lembab, keras.
Sialan, kenapa aku begini, sih?
Mataku melirik leher jenjang Rosé yang penuh bercak. Mengingat semalam agak kasar, aku hendak bertanya "kau tidak apa?" Tapi segera aku urungkan dan mengambil kaus yang tergeletak di lantai lalu memakainya.
Untuk apa aku peduli? Aku akan membunuhnya.
Setelah dipikir-pikir ini saat yang tepat untuk membunuhnya, kan?
Iya, kan?
Tatapan mataku beralih ke jeans panjang yang aku pakai kemarin sekarang sedang tergantung, ada pisau lipat di dalam sakunya.
Memang pisau kecil, tapi lumayan tajam. Aku perlu menikamnya beberapa kali di dada sampai dia mati. Menusuk lehernya adalah jalan pintas.
Kembali lagi ke Rosé, pipi bulatnya bergerak saat dia mengunyah waffle pemberianku, matanya seolah tenggelam di balik pipi itu saat dia mendongak sambil menyender ke kasur.
Entahlah.
Sepertinya aku sedang tidak mood.
Membunuhnya nanti-nanti saja.
"Kita harus pulang?"
"Memangnya kemana lagi?" Tanyaku balik. Rosé berbaring di kasur, dia hanya memakai kaus kebesaran dan tidak memakai bawahan,
"Kau tahu, kan, kau sedang jadi buronan?"
Tentu saja aku tahu, tapi tidak ada pilihan lain, kami tidak bisa terus-terusan disini dan menghabiskan uang hasil mencuri, memang menyenangkan, aku bisa membayangkannya, tapi aku tidak bisa terus-terusan memakai celana dalam yang sama, dan itu hanya mengulur waktu, pada akhirnya kami juga akan pulang, kan?
Aku duduk di pinggir kasur, mengotak-atik ponsel yang sudah menyala saat aku merasakan tubuh Rosé di punggungku.
"Aku tidak ingin pulang."
"Aku juga, tapi aku lebih tidak ingin mematahkan tubuhmu, jadi menjauhlah."
Rosé terkekeh, tapi tetap memelukku, aku bisa merasakan tubuhnya menempel sempurna. Tubuh Rosé terbilang kurus, kecil, tidak terlalu berotot, berbanding terbalik dengan tubuhku. Saat kami pertama melakukannya aku pikir tubuhnya akan patah, dan aku terus berpikir begitu— yang sialnya malah membuatku bersemangat.
Berhubungan sampai tubuhnya patah, haha, terdengar menyenangkan.
"Rosé."
"Hm?"
"Kenapa kau ingin bunuh diri?"
"..."
"Kau tidak sepertiku. Kau orang kaya, terkenal di sekolah, kan?"
Rosé terkekeh. "Justru dua hal itu, Jeff. Aku terkenal karena aku kaya, orang-orang mendekatiku hanya untuk uang, kau tidak tahu berapa ratus dolar yang aku habiskan hanya untuk mereka membicarakanku di belakang."
Aku diam saja, memainkan jari lentik Rosé saat dia melanjutkan,
"Orangtuaku memang kaya, aku tidak tinggal bersama mereka lagi, awalnya aku pikir itu keberuntungan karena dulu tiap aku makan pasti dipukuli, tapi setelah seminggu aku tidak tinggal bersama mereka dan tinggal dengan paman ... aku diperkosa."
Apa?
"Kau diperkosa? Oleh tua bangka buruk rupa itu? Yang benar saja, Rosé, kenapa kau tidak memukul kepalanya dengan vas bunga?!" Aku berbalik, dan yang aku lihat adalah mata Rosé yang berkaca-kaca.
"Aku tidak tahu ... entahlah, aku tidak bisa melawan."
Aku pernah ke rumah pamannya Rosé, saat aku melihat orang itu memang aku tidak suka, tapi awalnya aku pikir karena aku tidak menyukai semua orang. Rumah itu tidak terlalu besar, ada banyak vas berisi bunga dan buku-buku.
Selanjutnya yang terdengar hanya isakan, Rosé menutup wajahnya sembari menangis lagi seperti di bus. Aku hanya diam, memperhatikan, tidak tahu apa yang harus dilakukan saat orang menangis.
"Anderson, kau tidak akan membeciku, kan, setelah mengetahui ini?"
"Aku memang bukan orang baik tapi setidaknya aku bukan bajingan, bodoh. Berhenti menangis."
Note;
Spam next dong bestie gw butuh semangat 😩😩😩
![](https://img.wattpad.com/cover/254441962-288-k521611.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐖𝐞𝐢𝐫𝐝𝐨𝐬❜🪵
Fanfiction𝐑𝐨𝐬𝐞 𝐱 𝐉𝐚𝐞𝐡𝐲𝐮𝐧 ❝Jeffrey yang aneh bertemu Rosé yang sama anehnya.❞ Inspired by a Netflix's series The End of The F***ing World.