Ayahku menyimpan senjata api di lemari, aku mengetahui itu sejak di sekolah dasar, tapi memilih tidak membawanya ke sekolah—dan menembaki seluruh murid serta guru yang membully atau tidak membelaku, berarti seluruh penjuru sekolah—karena aku tidak tahu cara menggunakannya, dulu.Dan aku tidak tertarik menggunakannya, apalagi untuk membunuh.
Dengar, kau adalah seorang pembunuh jika menggunakan benda-benda kreatif saat melakukannya. Misalnya saat aku membunuh anak anjing dengan garpu, atau saat aku membunuh seekor ikan dengan setrika, atau lagi saat aku mencelupkan tikus ke dalam air mendidih lalu mencelupkannya ke air dingin sebelum mati dan mengulangnya terus-menerus, itu baru yang dinamakan membunuh.
No offense untuk pembunuh yang menggunakan senjata api di luar sana, hanya saja itu kurang keren, man.
Well, ini tidak seperti aku punya ruang untuk bicara, aku tidak pernah membunuh manusia, hanya hewan.
Ralat: belum.
Malam ini aku akan membunuh seorang pria—seorang bajingan, tepatnya—dengan tangan kosong. Walau aku tidak yakin akan 100% menggunakan tangan kosong, setiap rumah pasti ada garpu dan itu adalah senjata favoritku: tidak terlalu tajam, agak susah menembus, tapi jika berhasil, rasanya akan lebih sakit dari pisau.
Aku pernah menancapkan garpu pada pahaku sendiri, jika kalian bertanya-tanya bagaimana aku tahu.
Kalian penasaran? Cobalah sendiri.
Aku meninggalkan rumah saat Rosé sedang tertidur setelah memberikan kecupan kecil di pipi gembil itu, mobil tua milik ayah menjadi cara aku ke sana.
Rumah paman Rosé tidak terlalu jauh, butuh kurang dari 20 menit untuk sampai di sana. Aku parkir di depan rumah kosong yang berada di samping rumah itu, melihat sinar redup dari balik jendela, dan berjalan ke sana.
Aku membawa pistol ayah, sebagai ancaman kalau-kalau dia cukup bodoh untuk berusaha melawan dan aku cukup konyol untuk nyaris kalah.
Pukul 12 malam, lingkungan ini sangat sepi, ada lebih banyak rumah kosong dari yang berpenghuni.
Pada malam senin, tepatnya kemarin, Rosé berkata di sela-sela percakapan kita tentang betapa brengsek pamannya:
"Dia punya kebiasaan tidak mematikan lampu saat tidur. Dia penakut."
"Takut gelap?" Tanyaku saat itu.
"Iya. Oh, dan kakinya lumayan kuat, tapi tangannya lemah kalau dibandingkan denganmu—walau aku tetap tidak bisa melawan, sih, haha." Rosé tertawa kaku.
Oke. Takut gelap, kaki yang kuat.
Sama sekali bukan masalah, aku jago dalam mematahkan tulang kering dalam sekali tendang, sudah terlatih sejak berumur 10 tahun.
Aku mengecek sekitar sekali lagi, tidak ada cctv, lalu tersenyum ke arah jendela yang tidak jauh dari pintu utama.
Ayo kita habisi dia dengan tangan kosong.
Dia benar-benar takut gelap, sangat takut sampai dimana aku merasa itu lucu.
Update:
10 menit yang lalu aku memadamkan listrik rumah ini, 8 menit yang lalu aku mendobrak pintu dengan sekali tendang, 5 menit yang lalu aku memberikan tonjokan mentah di wajah yang sedang tidur itu sampai dia tersentak bangun, 4 menit yang lalu aku mencengkram kedua bahunya dan mengayunkan dengkul dengan kencang menghantam rahang bajingan itu, 3 menit yang lalu aku mencekiknya dan menyeretnya dari kasur.Piece of cake.
Aku tidak menduga akan semudah ini.
Tapi seperti yang Rosé bilang, gerakan kakinya kuat, dia sempat berusaha menendang selangkanganku saat sedang diseret, tapi aku menghindar, melepas cekikannya dan mengayunkan punggung kaki dengan gerakan menyamping untuk memukul tulang keringnya.
Terdengar bunyi 'krak', dan wajah bajingan itu terlihat konyol dalam redupnya rumah.
"Diamlah atau aku patahkan kedua kakimu."
Mari kita bikin ini singkat, langsung ke inti: aku melepasnya di tengah lantai. Seperti dugaanku, dia bangun, meninju pipiku dengan sangat lemah—sebenarnya dia punya potensi, otot bisepnya lumayan besar, tapi gerakan tangannya lambat, sepertinya dia belum pernah berada di perkelahian—aku tertawa, "haha, kau dapat otot itu dari gym, ya?" Tapi tidak sempat berlama-lama menertawainya karena dia kembali melayangkan tinju.
Kali ini tidak mengenai wajahku, aku menahan, mencengkram kuat, lalu memutar lengan itu. "AAAAKHH!!" Dia berteriak lagi.
Terdengar bunyi 'krak' kecil. Setelah aku melepasnya, tangan itu terlihat terbalik. Lucu, haha. Dia masih fokus berteriak panik sekaligus kesakitan akibat lengannya saat aku menendang tulang keringnya lagi, dan mendengar suara yang sama.
Dia lambat mencerna situasi. Ayolah, ada orang yang masuk ke rumahmu dan tiba-tiba menghajarmu tapi kau lebih memilih berteriak panik karena tangan yang bengkok?
"WHAT THE FUCK?! WHAT WAS THAT FOR?!" Dia melangkah mendekat dengan kaki bergetar, mencekik dengan tangan kiri yang masih sehat, tapi posisi ini malah membuat aku lebih mudah mengarahkan tinju dari arah bawah ke rahangnya dan mencengkram kedua bahu bajingan iu sambil mengayunkan dengkul ke selangkangan.
"AAAAAKHH!!"
"Aduh. Muncrat, bodoh."
Bajingan itu memegang selangkangannya sendiri, aku menunduk untuk mengantamkan siku pada kedua punggung kakinya dengan cepat sebelum mengangkat pinggangnya, posisi mengangkat karung, lalu membantingnya sekuat tenaga.
Saat aku bilang sekuat tenaga, artinya benar-benar sekuat tenaga. Aku menggunakan seluruh kekuatan tangan dan berat badanku untuk membantingnya ke lantai keramik di bawah.
DUG!!!
Bagus.
Dua tulang kering, dua punggung kaki. Dia tidak akan bisa beranjak berdiri setelah ini, apalagi sepertinya benturan lantai di kepala membuatnya nyaris tidak bisa berpikir, rahang yang pasti sakit tiap digerakkan, dan tangan patah, bajingan itu meringis membuka mulutnya tanpa suara.
Target sudah terbaring lemah, saatnya menghajar sampai mati.
Note;
Aku ga pernah tonjok2an guys gatau ini bener apa engga 😗✌🏻

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐖𝐞𝐢𝐫𝐝𝐨𝐬❜🪵
أدب الهواة𝐑𝐨𝐬𝐞 𝐱 𝐉𝐚𝐞𝐡𝐲𝐮𝐧 ❝Jeffrey yang aneh bertemu Rosé yang sama anehnya.❞ Inspired by a Netflix's series The End of The F***ing World.