161616

2.1K 473 143
                                    



Saat aku kelas 5 SD, ada penampilan drama. Kami ditunjuk untuk berakting, semuanya kebagian peran, 3 minggu sebelum hari penampilan kelasku sudah mulai berlatih, menyisihkan setengah jam setelah bel pulang sekolah, tentu saja didampingi wali kelas.

Aku tidak pernah tertarik. Sialnya, aku dapat peran utama walau bukan yang pertama.

Guruku selalu memarahiku karena tidak bisa akting, sedangkan kelas yang menang nanti akan mendapatkan hadiah. Aku tidak peduli soal hadiah, aku ingin pulang.

Tapi teman-temanku sangat peduli soal hadiah, mereka mengataiku tidak berguna dan menyusahkan kelas kami. Jadi aku berganti menjadi peran figuran.

Tetap saja, aktingku jelek.

Saat itu aku tidak mengerti kenapa aku selalu dimarahi, setelah dimarahi aku mengulanginya lagi.

Sampai akhirnya aku berhadapan dengan ibuku saat dia bicara, "kau tidak pandai berekspresi."

Aku tidak tahu apa yang terjadi, ibuku mendudukkanku di depan cermin, menyuruhku mengeluarkan berbagai ekspresi yang dia perintahkan. Aku tidak bisa, kepalaku nyaris pecah, dia memarahiku.

Umurku 11 tahun, aku menjambak rambutku sendiri, lalu melemparkan benda ke cermin itu, mengambil serpihan cermin tersebut, menggenggamnya sampai telapak tanganku mengeluarkan darah.

Ibuku mengataiku orang gila.

Dan akhirnya saat hari penampilan drama, aku duduk di kursi penonton saat teman-teman sekelasku berada di atas panggung.

Mereka semua orang gila.

Bukan aku, tapi mereka.

Kumpulan orang aneh.

Sialan.







"Jeffrey Anderson; mencekik Lucas Wood sampai kehabisan napas, membenturkan kepalanya ke tembok, mendorongnya dari jendela kelas lantai 3."

Pria paruh baya itu menghela napas. "Percobaan pembunuhan, Anderson. Dimana orangtuamu?"

"Mungkin mati."

"Aku sama sekali tidak sedang bercanda. Hubungi orangtuamu untuk segera kesini, atau aku yang akan melakukannya."

"Kau saja, ponselku rusak."

Wali kelasku; Mr. Smith memijit pangkal hidungnya, lalu mengangkat gagang telpon sebelum mengetikkan nomor dari yang tertera di data siswa, sepertinya. Aku tidak terlalu peduli.

Beberapa detik berlalu, Mr. Smith meletakkan kembali gagang telpon, tanda panggilannya tidak dijawab.

"Mungkin Ayahku sedang merokok ganja."

"Ibumu?"

"Seorang jalang."

Mr. Smith melotot, tepat saat itu aku mendengar suara tawa tertahan dari Rosé yang duduk di sebelahku. Aku dan Mr. Smith sama-sama menoleh ke arahnya, dia mengulum bibir sambil tersenyum.

"Kau luar biasa," bisik Rosé, entah itu pujian atau bukan.

Aku kembali menoleh pada Mr. Smith, pria tua itu menunjukkan ekspresi yang aneh, campur aduk, lalu akhirnya menghela napas sambil menyamankan posisi duduknya. "Anderson, kau—"

Drrt drrt drrt

Mr. Smith meraih ponselnya, lalu beranjak keluar dari ruangan. Tersisa aku dan Rosé, bisa aku lihat dari ekor mata, Rosé menoleh ke arahku. "Kau keren."

Aku tidak menjawab.

"Lucas memang bajingan, dia pantas—"

"Lalu kenapa kau berkencan dengannya? Kenapa kau mengirimkannya foto?"

Rosé terdiam sebentar. Kami duduk di sofa, dia menggeserkan duduknya menempel padaku. "Aku bosan. Kau membosankan." Dia tersenyum tipis, lalu mengusap bahuku pelan. "Kenapa? Cemburu? Jeff— AGH!"

Mata Rosé membola saat tanganku dengan tiba-tiba mencengkram lehernya kuat, wajahnya seketika memerah, mulutnya terbuka dan aku mendorongnya sampai terbaring di atas sofa demi mencium bibirnya.






Ceklek

"JEFFREY ANDERSON! ROSÉANNE WHITE!"


Aku tidak peduli, tanganku makin kencang mencekik leher jenjang Rosé, menahan pernapasannya. Sesaat aku setuju pada ibuku bahwa aku tidak pandai berekspresi.

Tepatnya, aku tidak tahu apa yang aku rasakan.

Aku tidak suka bermain dengan perasaan.

Dan entah kenapa—entah aku tahu darimana; bermain dengan Rosé sama dengan bermain dengan perasaan.


Sudahlah, aku tidak tahu lagi.







Note;

Kolom spam next biar gw semangat nulis 👉👉👉


agaknya Jeffrey punya fetish nyekek ya 😅

𝐖𝐞𝐢𝐫𝐝𝐨𝐬❜🪵Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang