171717

2.1K 470 85
                                    

Note;

Gabisa tidur :(



Setelah dipanggil karena aku mendorong Lucas Wood dari lantai 3 dan membuat banyak tulangnya patah terutama tulang punggung, aku dan Rosé melompat keluar dari jendela ruang wali kelas kami dan kabur.

Dedaunan oranye terlihat serasi dengan sinar matahari, tapi tidak ada waktu untuk menikmatinya, kami memasuki bis dengan asal, tidak ada tujuan, dan sesampainya di dalam suara tawa Rosé menyapa telingaku.

"Hahaha! Kita tidak punya uang, bodoh!" Dia menepuk pundakku berkali-kali.

Aku ikut tertawa.

Bodoh, kan?

Rosé masih tertawa saat aku berjalan ke belakang untuk mencari tempat duduk kosong. Bis ini lumayan penuh, kursi untuk 2 orang berjejer rapih, aku menemukan satu kursi yang hanya diduduki seorang bapak-bapak, lalu mempersilahkan Rosé duduk sedangkan aku berdiri di sampingnya.

"Anderson."

"Hm?"

Tidak ada suara lagi setelah itu, aku menoleh, dan mendapati Rosé tersenyum ke arahku dengan mata berkaca-kaca.

Tunggu, dia menangis?

"Kau menangis?"

"Aduh ... hiks! Ahahaha." Dia mengusap air matanya kasar, tapi sambil tertawa. Aku tertegun, apa ini? Kenapa dia menangis? Hampir sebulan kami berpacaran—aku lebih tepat disebut memuaskan nafsu satu sama lain—dan hanya ada 3 ekspresi yang Rosé keluarkan:

Santai, senang, dan filrty.

Yang pasti, ini pertama kalinya aku melihat Rosé meneteskan air mata, tanganku mendarat di pundaknya. "Ada apa?"

Rosé menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sesaat yang terdengar hanya isakan, aku membungkus perempuan itu dengan tatapan, bukannya aku tidak pernah melihat orang menangis, tapi aku tidak pernah merasakannya.



Sebenarnya apa yang pantas ditangisi?

Adik perempuanku gantung diri tepat di depan pintu kamarku pada malam hari setelah menangis histeris, berhadapan langsung denganku besoknya saat aku keluar kamar hendak sarapan.

Tapi aku tidak menangis.

Menatap wajah pucat itu dan lanjut berjalan ke dapur, selanjutnya aku menganggap dia hanya pergi jauh karena malas mengingatnya.

Sebenarnya apa yang pantas ditangisi? Kenapa Rosé menangis?

Saat aku kelas 6 SD, segerombolan anak SMP mencegatku dan mengambil barang-barangku. Tidak masalah, ini tidak seperti aku orang kaya atau semacamnya, isi tasku hanya ada buku, satu pulpen, dan roti selai kacang. Setelah mengetahui itu, aku dipukuli. Aku sempat membalas, tapi kalah jumlah, aku dipukuli sampai tulang rusuk patah.

Tapi aku tidak menangis.

Aku mengusap wajah yang lebam—perih, tapi tidak masalah—dan memakan roti selai kacang yang ada di dalam tas.

Apa yang pantas ditangisi?

Umurku 14 tahun saat aku diam-diam mengambil DVD film milik ibu dan menontonnya di kamar. Menatap langsung campuran emosi di depan mata, tapi aku tidak mengerti.

Apa aku orang aneh?

Aku orang gila?

Ibu dan ayah memang sering meneriakiku 'gila', tapi—aku benar gila?

Itu kenapa di hari pertama sekolah aku dipukuli? Karena aku aneh? Karena aku berbeda dari yang lain? Karena aku ... menjijikan?

Aku menatap Rosé yang mulai berhenti terisak, lalu tersenyum ke arahku. Tatapan matanya berbeda dari sebelumnya, kali ini dia tidak seperti jalang—maaf kasar, tapi begitulah kenyataannya.

Dia memelukku.

Tidak ada rabaan di paha, tangannya tidak masuk ke kaus atau celana yang kupakai, mulutnya tidak mengeluarkan godaan.

Posisinya aku berdiri dan dia duduk, memeluk pinggangku, menyembunyikan wajahnya di perutku yang aku yakin tidak terlalu empuk. Sesaat aku tidak bisa berpikir, tapi tanganku mendarat di kepalanya. Usap pelan, dan ternyata benar dugaanku:

Bermain dengan Rosé sama dengan bermain dengan perasaan.



Ini menjengkelkan, tapi tanganku tidak lepas dari rambut lembut itu, kami terdiam selama perjalanan entah menuju kemana.






























Note;

CEILAH SOK PUITIS BET LU JEPREY

𝐖𝐞𝐢𝐫𝐝𝐨𝐬❜🪵Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang