e i g h t

43 7 0
                                    

Dinda

Dari semua pilihan hari yang Tuhan ciptakan—sebagaimana Tuhan menciptakan dunia dalam tujuh hari—yang paling ku benci adalah hari Senin.

Yah... walaupun aku sendiri enggak tahu Tuhan sebenarnya menciptakan manusia di hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu atau Minggu. Hari Senin adalah hari yang melelahkan. Paling melelahkan dari keseluruhan hari dalam satu minggu.

Terlebih, seminggu menjelang UAS.

"Ayolah, Ibu tahu kalian lemes kalau mau UAS. Ibu juga enggak akan marah sama kalian kalau nilai UAS kalian jelek-jelek. Udah biasa Ibu mah dengerin keluhan orangtua kalian semua yang harap-harap cemas sama nilai kalian—apalagi matematika," kata Bu Sandra pagi ini di depan kelas, setelah doa pagi.

Dua puluh lima anak di dalam kelasku ini memang menjadikan matematika dan fisika sebagai alasan utama kami untuk masuk IPS. Walaupun katanya matematika IPS itu gampang, yah tapi tetap aja. Segampang-gampangnya, buat anak IPS mah enggak ada yang gampang kalau udah menyangkut angka—kecuali yang pakai nominal rupiah.

"Ibu tahu kalian di sini juga enggak bakalan ada yang jadi dokter atau insinyur kali," lanjutnya, "Makanya semangat dong kalian!"

Masih saja kalimat itu tidak membuat kami semangat. Justru tambah loyo.

Akhirnya setelah lima belas menit mengoceh di depan kelas, bel perpindahan kelas pun berbunyi. "Pokoknya Ibu enggak mau lihat muka-muka males hidup kalian lagi nanti sore!" perintah Bu Sandra sebelum kami berangkat ke kelas matematika.

"Bu Sandra lagi kenapa ya? Semangat banget motivasi kita hari ini?" gumam Davies.

"Sama, gue juga bingung. Tumben amat gitu," sahut Dimas.

Denger boleh denger, Bu Sandra itu SMA-nya juga di sekolah ini dan sebagai jebolan sekolah yang sama dengan anak didiknya sekarang. Mungkin itu alasannya Bu Sandra hari ini getol banget membumbui kelas dengan motivasi-motivasi dan kata Mutiara.

"Cabut guys! Udah rame tuh sama anak IPA yang mau kelas musik," kata Ferdi.

Kami yang tadinya masih milih-milih buku di loker untuk di bawa ke kelas berikutnya, buru-buru menutup loker sebelum anak-anak XI IPA itu sampai di kelasku. Kelasku adalah kelas musik vokal, untuk anak-anak yang milih kelas vokal. Di deretan koridor, masih ada kelas piano, gitar dan violin masing-masing.

Beberapa anak kelasku sudah mulai meninggalkan koridor lantai empat untuk turun ke lantai dua, ke kelas ekonomi.

"Din, pinjem catetan ekonomi minggu lalu dong," pinta Jessie, "Gue lupa banget nyatet ulang..."

"Lah nanti kalo dicariin Bu Ana gimana?"

"Iya gue udah titip Tia buat naroin buku gue dulu di meja. Gue catet cepet di toilet ini biar enggak kelamaan, Din."

Aku mengangguk, dan memberikan buku catatan ekonomiku pada Jessie. "Gue tunggu di kelas ya," kataku, lalu aku menutup lokerku dan berjalan sama Gigi menuju kelas ekonomi. "Yuk, Gi."

Jedug!

Tak ku sangka aku menabrak sosok tubuh yang kokoh. Sebuah dada bidang tak sengaja dahiku tabrak karena kepalaku melihat kakiku yang hendak menuruni tangga. Aku menengadahkan kepalaku dan melihat siapa yang ku tabrak.

"Hati-hati Din," kata Marco sambil mengacak-acak dahiku kecil di posisi persis terkena dadanya tadi. "Lain kali di angkat kepalanya sedikit kalau jalan biar keliatan. Jangan cuma kakinya."

Something WonderfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang