Marco
Seperti rasanya baru kemarin gue menginjakkan kaki di sekolah ini. Memiliki banyak ambisi buat melakukan hal ini dan itu. Bahkan ingin lulus sebagai lulusan terbaik – mungkin yang satu ini berhasil gue wujudkan. Setelah UN selesai, kami masih masuk sekolah. Sekolah gue memang enggak ada ampunnya deh walaupun kita selesai UN juga masih harus masuk sekolah.
Katanya sih, perlu buat persiapan masuk kuliah nanti, tapi kan persiapannya enggak harus dilakukan di sekolah juga!!
"Jadi itu NTU gimana nasibnya, Marc?" tanya Farel dan Lulu yang tiba-tiba saja sudah duduk di depan tempat duduk gue. "Itu buku SBMPTN enggak usah dilahap terus-terusan kali. Gue jamin SNMPTN lo pasti diterima, kenapa juga harus repot-repot belajar?"
"Lagian lo masih punya Nanyang juga, kalau ditolak SNMPTN, kan?" tambah Lulu.
Gue menggeleng pelan, "Gue masih ragu buat ke Singapura."
Agak bodoh ya sepertinya ucapan gue barusan. Manusia bodoh mana yang mau menolak NTU untuk universitas dalam negeri memangnya? Biar gue jawab, mungkin orang bodoh gue orangnya. Beberapa bulan lalu, gue memang iseng doang, mencoba daftar ke NTU dengan ekspektasi tidak banyak untuk diterima. Rupanya, soal yang dibuat kampus itu sangat sulit.
Gue enggak bisa cap-cip-cup karena soalnya esai. Gue enggak bisa ngarang bebas, karena gue harus menjawabnya step-by-step, artinya setiap langkah yang gue tulis di jawaban itu, termasuk rumusnya sendiri, sudah dihitung dalam penilaian. Jadi setelah gue pulang dari tes itu, gue sangat yakin kalau gue ditolak.
Tapi pada akhirnya, sekitar sebulan setelah tes tersebut, gue dapat surat ke rumah. Gue diterima di jurusan Teknik Sipil.
Senang? Tentu tidak.
Yang gue pengen adalah Teknik Kimia, tapi gue malah diterima di Teknik Sipil.
Kalau yang diterima itu Farel, berani jamin dia langsung urus semua berkas yang diminta Nanyang. Sayangnya, gue enggak ada minat di Teknik Sipil. Kebimbangan gue pun berlanjut setelah Papa tahu surat penerimaan dari Nanyang itu.
Endingnya, Mama mengatakan, "Kalo kamu masih pengen Teknik Kimia, coba aja di ITB dulu."
Otomatis untuk bisa masuk universitas dengan logo Ganesa itu, gue harus belajar dan bersaing dengan ribuan calon mahasiswa di seluruh Indonesia lainnya bukan?
"Emangnya kemarin lo nulis apa di SNMPTN?" tanya Lulu. "Bukan Teknik Kimia?"
Inilah yang jadi kebodohan gue juga kemarin. "FK UI," jawab gue. Penyesalan memang selalu datang belakangan ya. Gue sendiri aja bingung, kenapa gue harus nulis FK UI kemarin. Padahal jadi dokter bukan piliha utama gue.
"Itu kan tradisi buat paralel satunya IPA sekolah, Lu. Makanya mau enggak mau deh Si Marcodong ini ngisi FK UI."
Terkadang, jadi orang yang tidak terlalu berbakat lebih baik. Terlalu banyak pilihan akhirnya hanya membuat kalian pusing tahu.
Dan sebenarnya ada satu alasan terakhir, kenapa gue masih menuliskan FK UI saat memilih jurusan di SNMPTN itu. Perasaan gue ke Dinda masih sama. Gue masih suka sama Dinda, meski gue tahu tahu dia masih suka dengan Gamal.
Asal kalian tahu saja, setelah pesta ulang tahun Nadira, anak-anak di kelas mulai ngecengin Nadira dengan Gamal lagi. Sebagai orang yang tahu perasaannya Dinda, gue sendiri ngerasa sedih. Aneh ya, padahal bukan gue yang punya perasaan tapi karena gue suka sama Dinda, gue jadi ikutan sedih.
Puncaknya yang paling parah adalah saat di satu waktu, Nadira pernah menanyakan gue dengan Dinda.
Kalau saja gue bisa minta pindah kelas, mungkin hal itu udah lama gue lakukan. Sayangnya, gue terjebak sampai lulu SMA dengan Nadira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something Wonderful
Teen FictionSudah jadi rahasia umum satu sekolah kalau Dinda suka kepada Marco, dan Marco tidak menyukai perempuan sleboran seperti Dinda. Tapi semenjak Dinda dan Marco terpaksa harus dekat karena sebuah kompetisi piano, semuanya berubah. Dinda Marco kini mulai...