t w o

111 9 0
                                    

Gamal

"Mamal, Mamal, main yuuuk~"

Nada mengayunnya Dinda yang berdengung di depan pintu rumah gue terus terdengar sejak lima menit lalu.

"Gagam, Gagam, main yuuuk~"

Gue bukannya nggak denger, tapi pura-pura nggak mau denger aja. Menolak dengar tepatnya.

"Mamal, Mamal, main yuuuk~"

Ketokan pintunya makin lama makin nggak masuk akal. Dari yang awalnya pelan, sampai akhirnya seperti menggedor-gedor.

Gue nyerah juga akhirnya, dan membukakan pintu itu. "Apaan sih, Din?!"

"Mal, main yuk!" Serunya dengan wajah riang gembira. "Gue tahu lo lagi mellow, gelow abis putus, tapi jangan ngurung diri kayak Rapunzel juga keles..."

Dinda emang cewek paling lebay yang pernah gue kenal seumur hidup gue. Entah dari cara dia menggambar sesuatu, atau mengabstraksikan suatu hal. Semuanya berlebihan.

Gue juga heran kenapa gue bisa berakhir akrab sama dia.

Boleh dibilang, gue sama dia udah sahabatan dari oroklah. Dia lahir tepat dua minggu setelah gue lahir. Gue tanggal 7 September, dan dia tanggal 21 September. Karena nyokap dan bokap gue selalu sibuk, akhirnya gue sering dititipin ke tetangga sebelah. Iya, kalian betul, keluarganya Dinda.

"Gue sibuk," tolakku.

"Halah... Mana ada lo sibuk? Bersih-bersih rumah? Kan udah ada Mbak Tik. Gimana sih?"

"Gue–"

"Sibuk ngelupain Valak? Eh, maksud gur Vala?"

Sialan juga ini anak, masa pacar gue–maksudnya mantan pacar gue–dikatain Valak. Sama dia aja, masih lebih cantik Vala kali.

"Muka lo yang kayak Valak. Idung kok mancung ke dalem."

"Nah ini nih... Mulai kan serang fisik. Lo ngaca dong, sipit juga lo," balasnya. "Pokoknya lo mandi, ganti baju sekarang. Abis itu kita jalan!"

Gue mengernyitkan dahi. "Mau jalan pake apaan? Motor lagi dipake Gabriel." Kakak gue memang baru pulang dari Bandung. Terus motor di rumah dipake sama dia.

"Bawel amat sih jadi cowok. Nurut aja napa?!"

Baiklah, gue nurut.

Beruntung aja hari Sabtu ini gue lagi nggak ada latihan basket. Kalo nggak udah gue tempeleng ini anak pake bola basket biar suara cemprengnya lenyap.

Setengah jam kemudian cewek bersuara cempreng yang mengganggu hari gue hari ini kembali datang di depan rumah. Tapi kali ini dia nggak sendirian.

"Kenapa ada Epin?" Tanya gue dengan nada meninggi.

Epin.

Namanya Josephine sebenernya. Tapi karena susah, dia memanggil dirinya sendiri Epin. Umurnya baru tiga tahun minggu lalu.

"Gue disuruh jagain Epin hari ini," jawab Dinda dengan cengiran kudanya yang lebar, memamerkan gigi sekaligus behelnya yang karetnya berwarna kuning. Dia menggendong Epin di posisi kanan. "Jadi, karena gue nggak mau sendirian, makanya gue berbagi kebahagiaan gue buat jagain Epin bersama jomblo baru di komplek!"

Sejak kapan nungguin anak kecil itu anugerah?

"Lo pasti ngira ini musibah kan?" Balasnya sambil mencubit pipi kananku dengan tangannya yang bebas. "Kalo sendirian emang musibah. Tapi kalo berdua jadinya nggak musibah lagi! Makanya ayo!!"

"Lo bisa berhenti cubit pipi gue dulu nggak Din?" Dinda pun melepaskan cubitannya dari pipiku. "Gue nggak ngerti kenapa lo gangguin gue."

"Biar lo nggak galau terus." Dinda menghampiriku. Gue kira dia mau ngapain, tahunya dia memberikan adiknya kepadaku. "Nih, gendong Epin dulu. Gue keluarin mobil sebentar!"

Something WonderfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang