t w e n t y

34 3 0
                                    

Dinda

Kalian nggak tahu kan, gimana hebatnya sebuah perasaan bisa mengubah segalanya?

Itu terjadi begitu saja, dan hubunganku, dengan sahabat yang sangat-sangat dekat denganku selama ini harus berubah begitu saja.

Terkadang, aku merasa menyesal karena memilih untuk datang ke pesta ulang tahun Nadira. Karena jelas sekali aku – dan semua tamu yang lainnya juga pasti mendengar hal yang sama – mendengar Gamal mengucapkan, "Aku sayang kamu, Din." Tapi, detik berikutnya yang dia lakukan adalah mencium perempuan yang berdiri di depannya.

Sepertinya aku mati rasa sekarang. Aku bahkan enggak tahu lagi gimana perasaanku sendiri.

Mungkin akan lebih baik kalau aku hanya fokus saja untuk persiapan kuliah ku.

Gigi sudah aku ceritakan semuanya, termasuk perasaanku kepada Gamal yang sudah berubah. Aku sudah tidak lagi menyayangi Gamal sebagai seorang sahabat, tapi aku menyukainya sebagai seorang laki-laki. Perasaanku yang sudah terporak-porandakan dengan fakta yang lebih menyedihkan lagi, dimana dia bilang sayang sama aku tapi malah mencium Nadira.

"Technically, dia enggak bener-bener bilang ke lo kalau dia sayang sih Dindong!" seru Gigi sambil menempeleng kepalaku. Dia, yang sedang sibuk mengerjakan PR Sosiologi di kelas itu, langsung menghentikan aktivitasnya. "Oke, gue berhenti ngerjain PR gue, demi elo nih. Cepetan cerita!"

Gigi dan aku memang punya kebiasaan yang sama, untuk mengerjakan PR kami di sela-sela jam istirahat atau saat ada jam kosong. Supaya kami bisa pulang tanpa mengerjakan PR lagi.

"Tapi jelas-jelas semua orang denger kok, dia bilang 'Din' bukan 'Nad.' Coba lo kasih tahu gue dimana kesalahannya kalau gue bilang dia nggak sayang sama gue?" tanyaku balik, lebih tegas. Aku masih percaya kalau Gamal memang mengatakan sayang kepadaku, walaupun memang bukan aku yang ada di hadapannya saat itu.

"Bisa aja lo salah denger, Dindong! Yang Gamal maksud tempo hari bukan 'Din,' tapi 'Dir.'" Gigi menarik napasnya dalam-dalam. "Kalo kayak gitu kan semua orang juga bisa salah denger, Dindong!"

"Tapi Gi, Gamal selalu manggil Nadira pake sebutan 'Nad.'"

Gigi kali ini terdiam. Selama beberapa saat, dia mengetuk-ngetuk mejanya dengan jari-jari lentiknya. "Gue enggak paham lagi deh sama lo berdua. Gue memang punya feeling sejak lama, kalau lo bakalan suka sama Gamal suatu saat, tapi gue enggak nyangka aja kalau timing-nya jelek banget kayak begini."

"Timing jelek yang gimana maksud lo?"

"Lo, Marco dan Gamal." Gigi mulai menjelaskan panjang lebar dengan menggerakan tangannya terus untuk menyadarkanku. "Lo awalnya suka sama Marco, tapi Marco enggak suka sama lo – lebih tepatnya ilfeel berat sama lo. Kemudian setelah beberapa waktu kalian dekat karena lomba piano, dia mulai bersikap baik dan sebagainya. Dia bawain lo sarapan, ngajakin lo ngerjain PR Matematika bareng – padahal Marco enggak pernah mau berbagi waktu berharganya buat ngjarin orang yang kapasitas otaknya berbanding terbalik sama dia, dan bahkan dia ngajakin lo ke gerejanya dan liburan bareng keluarganya. Itu jelas-jelas nunjukin kalau Marco ada perasaan sama elo, Dindong! Bahkan Marco ngomong juga ke lo kalau dia suka sama lo, bukan?"

Baiklah. Aku sudah menerima afirmasi ini langsung dari yang bersangkutan.

Saat Marco mengantarkan aku pulang dari pesta ulang tahunnya Nadira, suasana di dalam mobil Marco sunyi, tanpa celotehan kami berdua, tidak seperti saat kami berangkat. Beruntung, MP3 player mobilnya terus memutar lagu Kenny G. Alunan saxophone itu setidaknya meringankan kekikukan di antara kami.

Keheningan yang berlangsung lama itu terpecah akhirnya ketika Marco mulai bertanya. "Lo baik-baik aja, Din?"

"Baik, kok. Kenapa harus enggak baik-baik?" tanyaku balik. Mungkin sebenarnya aku tahu apa yang dia maksud, yaitu perasaanku setelah melihat Nadira dan Gamal berciuman tadi. Kemudian aku meralat jawabanku lagi. "Actually, I don't know. Mati rasa mungkin."

Something WonderfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang