Gamal
Gue sebenarnya bukan orang yang kepo dengan urusan orang lain. Sebenarnya lho ya. Tapi bukan berarti gue bukan orang yang enggak penasaran. Hanya saja, ada beberapa hal yang membuat gue penasaran dengan sepinya suasana rumah sebelah. Iya, kalian enggak salah, itu rumahnya Dinda.
Rumah itu biasanya ramai dengan suara Epin yang teriak-teriak memanggil mamanya, atau mengganggu Dinda yang sedang latihan piano. Tapi, kini rumah itu kosong. Mobil yang biasa ada di car port-nya sekarang tidak ada. Namun, lampunya di siang hari padam, sedangkan di malam hari menyala. Sepertinya ada orang di dalam sana, tapi kenapa sepi sekali?
Ah, kenapa gue yang jadi mikirin rumahnya Dinda?
Orangnya sendiri juga enggak kelihatan batang hidungnya.
"Gamal," panggil Mama, yang sedang memotong bawang merah. Jarang-jarang gue melihat Mama ada di rumah—apalagi memotong bawang merah. Gue yang sedang menonton TV—sebenarnya lebih tepat menyalakan TV, tapi tidak menontonnya, karena gue sendiri sedang memainkan ponsel, membuka Instagram, melihat ada unggahan foto baru dari Dinda.
a.dindanastasia thank you buat jalan-jalannya @reereen @marco_ecclest.
Lho? Dia jalan-jalan sama keluarganya Marco?
Foto yang diunggahnya sedang memberi makan zebra di Taman Safari. Foto itu terlihat ceria. Dinda menyodorkan wortel ke mulut zebra, di sebelah kanannya ada Marco dan di depan mereka berdua ada seorang gadis lagi, sepertinya adiknya Marco. Mereka bertiga memasang wajah riang. Semuanya tersenyum lebar.
"Gamal," panggil Mama untuk yang kedua kalinya.
"Iya Ma?" jawab gue gue akhirnya.
"Kamu lihat-lihat dong ke sebelah," kata Mama, "Tante Tika, sama suaminya lagi ke Salatiga, nengokin Ledwin."
"Kenapa harus ditengokin?" tanya gue asal. Logikanya kalau orang tua Dinda ke Salatiga, berarti satu rumah juga ikut pergi dong?
"Dinda ditinggal di rumah sendirian. Epin aja ikut. Soalnya Dinda sudah ada janji duluan sama temennya, diajak jalan-jalan ke Taman Safari. Enggak enak mau dibatalin, udah sampe beli tiket segala kan." Oh, rupanya dia jalan-jalan ke Taman Safari sudah lama direncanakannya. "Tapi, Mbaknya yang biasa bantu-bantu di rumah ikut pulang juga ke Jawa. Katanya, biar lebaran sama tahun baru nanti enggak pulang. Jadi kasihan tuh, Dinda sendirian di rumahnya."
Gue masih mengusap layar ponsel. Mendengarkan ceritanya Mama soal Dinda sebenarnya agak niat dan enggak niat sih. Mau peduli dengan Dinda pun juga malas. Dia sendiri yang mulai perang dingin duluan.
Sebenarnya gue pengen jalan-jalan aja keluar sama anak-anak yang lain. Tapi sama siapa?
Anak-anak basket udah kebanyakan pada jalan-jalan sama keluarganya. Nadira pun begitu. Malahan Nadira jalan-jalan sekaligus melihat kampus yang diinginkannya. Katanya sih, sekalian mencari kampus swasta, kalau-kalau enggak diterima di negeri.
"Kamu lihat dulu gih. Jangan bilang udah janjian lagi sama Nadira?" tanya Mama sambil tersenyum meledek.
Sejak gue sudah menuliskan jurusan Fakultas Teknik Industri ITB, Mama jadi lebih melunak. Apalagi, waktu Mama datang ke sekolah, mengambil rapot, dan enggak sengaja bertemu dengan Nadira. Sepertinya Mama punya kontak batin dengan Nadira. Dari situ, gue tadinya merasa aka nada masalah nih. Nyatanya, enggak. Mama malah welcome banget dengan Nadira.
"Kamu sama Nadira enggak akan bersama, kecuali salah satu dari kalian mengalah. Mama sekarang enggak akan keras sama kamu lagi untuk urusan perasaanmu, Mal. Kamu selalu punya pilihan yang baik," terang Mama. "Beda dengan Koko kamu. Seperti yang kamu bilang, urusan perasaanmu bukan hak Mama untuk mengatur dan kamu pun berbeda dari Koko kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Something Wonderful
Teen FictionSudah jadi rahasia umum satu sekolah kalau Dinda suka kepada Marco, dan Marco tidak menyukai perempuan sleboran seperti Dinda. Tapi semenjak Dinda dan Marco terpaksa harus dekat karena sebuah kompetisi piano, semuanya berubah. Dinda Marco kini mulai...