Marco
Gue melewati jalanan Kuningan. Melihat banyak gedung-gedung kedutaan yang berjejer di sana. Enggak ada agenda apapun sebenarnya. Hanya sendang ingin memutar-mutar jalanan saja, sebelum Jakarta semakin macet pada jam pulang kantor.
Dinda dari tadi sibuk melihati kertas—yang gue juga dapatkan dari wali kelas.
Topik soal jurusan kuliah kayaknya akan menjadi topik yang akan mengisi keseluruhan kelas XII nanti. Dan sepertinya, melihat ekspresi Dinda yang hanya mematung dari tadi, dia bingung.
Gue melihatnya cukup lama, sampai tidak sadar, kalau sudah lampu hijau. Gue mendengar klakson mobil dari belakang, meminta agar gue melaju.
"Marc, jangan ngelamun," kata Dinda. "Lo enggak lagi ngeliatin gue kan?"
"Kenapa emangnya kalo gue lihatin lo?" tanya gue balik.
"Nanti naksir loh." Dinda tertawa renyah sambil menyenggol lengan kiri gue. "Kalo naksir kan repot."
Memang repot. Karena sepertinya gue memang udah membiarkan diri gue sendiri menyukai Dinda. Repot, karena selama ini, gue kira jalan berdua aja sama Dinda udah cukup. Biarlah begitu aja.
Tapi rupanya, gue diminta untuk memperelas hal yang gue kira selama ini udah jelas.
"Lo mau ke mana sih?" tanya Dinda lagi. "Kuningan macet loh bentar lagi. Lo bukannya hari ini bimbel ya?"
"Hari ini bahasa Inggris sama Indonesia. Males bimbelnya," jawab gue, "Sebenarnya gue cuma pengen jalan-jalan aja. Bosen gitu sama rutinitas setiap pulang sekolah, Kebetulan hari ini lo bawa mobil, jadi gue niatin buat muter-muter aja." Kayaknya gue salah juga, seenaknya mengikuti kemauan gue. "Atau, lo udah ada acara lain, Din?"
Dinda menggeleng. "Acara sih enggak ada. Gue bosen malahan di rumah. Tadinya gue juga mau jalan-jalan sendirian dulu. Eh, lo manggilin, jadi ada temen jalannya deh gue."
Bisa barengan gitu? Entah ini pertanda bagus atau tidak, gue enggak tahu.
"Ngomong-ngomong, adik lo apa kabar?" tanya gue. "Epin?"
"Epin mau masuk TK bulan Juli, pas juga umurnya lima tahun nanti," jawab Dinda. "Kalo Ririn gimana? Mau SMA di mana?"
"Biasa, buntutin gue dia tuh." Gue memang merasa Ririn selalu membuntuti kemana gue mau sekolah. Entahlah, mungkin dia melakukannya karena tidak punya referensi lain. Tapi mungkin juga, karena dia memang sengaja ingin ikut dengan gue. "Kalau kita sendiri mau ke mana nih nanti?"
Gue bisa merasa Dinda melihati gue. Titik but ague merasakannya sebenarnya. Jadi, gue menoleh sebentar. Ekspresi wajah Dinda menunjukkan sedikit kebingungan. Seperitnya gue salah ngomong tadi?
"Kita gimana maksudnya?" tanya Dinda.
"Yah, mau kuliah di mana maksud gue," balas gue, "Kecuali, lo enggak mau kuliah?"
Dinda mengangkat kedua bahunya. "Enggak tahu juga. Dulu, gue pengen jadi dokter. Tapi sejak masuk IPS, mana mungkin?" Dinda terkekeh pelan, "Gue tertarik sama hukum. Kayaknya menarik aja. Kebetulan orangtua gue juga orang hukum."
"Menarik memang," balas gue, "Lo sendiri memang cerewet sih. Cocok kayaknya. Tapi tiap sama gue kenapa jadi kalem?"
Dinda terkejut dengan ucapan gue barusan. "Takut salah ngomong, nanti kena semprot dari orang pinter."
Gue tertawa lepas, dan langnsung mengerem mobil. Karena gue langusng melihat bahwa lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Membuat gue otomatis mengerem mobil. Dinda otomatis memalingkan wajahnya kepada gue, dan gue pun melihat Dinda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something Wonderful
JugendliteraturSudah jadi rahasia umum satu sekolah kalau Dinda suka kepada Marco, dan Marco tidak menyukai perempuan sleboran seperti Dinda. Tapi semenjak Dinda dan Marco terpaksa harus dekat karena sebuah kompetisi piano, semuanya berubah. Dinda Marco kini mulai...