s i x

51 3 0
                                    

Dinda

Aku kira telingaku sedikit rusak saat mendengar sahabatku memintaku untuk membuat tim cheers. Rasanya, Gamal tidak baru kenal denganku sehari atau dua hari deh. Dia tahu persis betapa aku sangat amat tidak cocok dengan dunia per-cheers­­-an.

Sebetulnya sih aku memang pengen ikut cheers dari jaman masih SMP. Tapi, karena aku sadar diri sama body yang nggak mendukung buat dilempar-lempar ke atas udara sama orang lain, terus ditangkap ulang lagi...

Ya sudah deh, biarkan saja itu hanya menjadi angan-anganku semata saja untuk ikutan cheers.

Tapi, sekarang malah Si Gamal yang lagi kalang kabut ini mendatangiku dan memintaku untuk membentuk tim cheers.

"Gue waras banget, Din. Makanya gue minta tolong sama elo buat bikin tim cheers. Kan temen lo banyak tuh, terus-"

"Apa urusannya sama gue kalau temen gue banyak?" tanyaku sambil mengangkat sebelah alisku.

"Jadinya kan gampang buat rekrut cewek-cewek yang mau cheers juga gitu maksudnya," sahutnya tanpa dosa apapun. Raut wajahnya menunjukkan wajah polos yang biasa ditunjukkan Epin kalau sedang meminta mainan baru.

"Persetan sama temen gue yang banyak, Mal," balasku, "Lo kira semua cewek mau jadi anak cheers? Enggak semuanya tahu!"

"Tapi yang jelas, gue tahu kalau lo mau Din," jawabnya kini dengan senyuman lebar merekah.

Begini nih, ruginya punya sahabat deket yang tahu hasrat-hasrat terpendam yang enggak pernah ditunjukin ke permukaan. Aku cuma bisa memendam keinginan ikutan cheers dari SMP karena lolos audisi ekskulnya aja enggak. Ditambah lagi, aku masuk ke SMA yang-boleh dibilang-mengharamkan cheers.

Dulu, sekolahku memang punya tim cheers yang cukup baik. Tapi semenjak terkenal dengan kasus bully dalam sesama anggotanya, hingga memakan korban, yaitu salah satu anggotanya sampai menjual ponsel dan laptopnya hanya untuk membeli keperluan cheers-yang sebenar-benarnya-tidak diperlukan amat.

Karena alasan itulah makanya, sekolah tidak memperbolehkan adanya tim cheers lagi di sekolah.

"Lo enggak mungkin dong membuat anggota cheers lo sampe miskin mendadak. Iya kan, Din?" tanya Gamal, untuk meyakinkanku. "Gue kan kenal sama lo dari masih ngompol di celana. Lo pasti bisa kok!"

"Okelah kalau gue mau Mal. Tapi lo pikir temen-temen gue yang lain emangnya langsung mau buat jadi tim cheers?" kataku untuk menolaknya lagi, "Lagi pula, bukannya ada Nadira yang serba bisa segalanya itu?"

"Nadira ada anemia, Dindong! Lo mau dia pingsan pas di lempar-lempar?"

Eh emang dasarnya kampret ini anak ya!

Kalau bagian seneng-seneng aja dia ngedatengin Nadira. Giliran kena bagian aneh-aneh aja nyamperin aku. Memangnya aku ini Doraemon, bisa ngeluarin barang aneh-aneh serba bisa?!

"Please ya Din... Mau yah? Yah?"

Aku menggelengkan kepalaku tegas. "Enggak! Sekali enggak ya enggak!"

Detik itu pun aku memutuskan untuk tidak mau sama sekali berurusan dengan Gamal lagi kalau membahas soal tim cheers yang diinginkannya.

Tapi nyatanya, tidak semudah itu juga untuk kabur dari Gamal. Lebih tepatnya, dari tim basketnya.

-----

Senin pagi itu, aku terlambat keluar dari rumah karena harus mengurus Epin yang rewel enggak mau bangun. Mami baru pulang besok, dan Papi masih akhir minggu ini. Untung saja, walaupun terlambat sedikit jalanan untuk ke sekolahku tidak terlalu macet.

Something WonderfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang