Dinda
XI IPS 3
Gigi menghampiriku begitu melihat namanya ada di kelas yang sama denganku.
"Cie... Sekelas lagi dong kita," balas Gigi riang. "Masih galau gara-gara Aswin sama Firly nggak?"
Yaelah, baru juga lima belas menit di sekolah. Malah dibahas luka lama semester kemaren dong sama dia. Kurang ajar betul emang Gigi ini.
Nggak peka sama temennya.
"Eh minggir!" Seru suara bariton milik Marco yang nongol di belakangku. "Ngalangin jalan aja sih anak IPS."
Aku langsung menoleh ke arahnya, menatap kesal. Tapi tak berlangsung lama karena aku pun minggir, sesuai permintaannya.
Marco emang nyebelin. Banget.
Tapi aku juga naksir sama dia.
"Gue nggak abis pikir sih, Din. Abis galau karena Aswin jadian sama Firly, lo malah naksir balik lagi ke Marco?!"
"Abis ganteng Gi. Gimana dong?"
Gigi menelan ludahnya. Tiba-tiba tangan kanannya menoyor kepalaku.
"Makan tuh ganteng yang lo bilang! Mata lo rabun sama manusia yang nggak ada akhlak itu!"
Aku mengaduh karenanya.
Kami berdua memang selalu berseberangan kalau soal cowok. Walaupun nasib tetep sama. Iya, sama-sama jomblo.
"IPS 3 banget nih Din? Gue aja di IPA 1 loh..."
Suara khas Gamal memasuki saluran pendengaranku dengan jelas. "Gue sama Marco beda satu kelas doang kok. Dia ada di IPA 2. Tapi, wali kelasnya dia Bu Tita, guru Biologi yang kelasnya paling deket sama lab."
Di tahun kedua ku, sekolah ku ini mengubah sistemnya menjadi moving class. Artinya, guru-guru yang berdiam di ruangannya, sementara kamilah, siswanya, yang datang ke ruangannya. Sebelumnya kami yang tinggal di kelas, dan guru yang datang. Entah apa pertimbangannya, tapi sistem inilah yang dipakai sekarang.
Kelas utama kami berada tergantung dengan wali kelas kami. Seperti Marco yang ruang kelasnya di lantai satu karena wali kelasnya guru Biologi. Sedangkan Gamal, mendapatkan guru Fisika.
"Terus lo berdua siapa wali kelasnya?" Tanya Gamal padaku dan Gigi. "Bu... Sandra?!" Ucap Gamal sesaat setelah melihat nama wali kelas yang tercantum di daftar kelas XI IPS.
Aku dan Gigi pun saling pandang satu sama lain. Seolah kita berdua mendapatkan jackpot yang salah.
"Selamat menikmati ruangannya Bu Sandra yahh!! Gue cabut duluan ke kelas gue!"
Sepeninggalnya Gamal, aku dan Gigi pun menaiki satu per satu anak tangga hingga sampai di lantai empat. Bu Sandra itu guru musik, dia jugalah yang melatih vokal paduan suara. Di ruangannya ada piano dan piano elektronik.
"Kalo setahunan naik turun tangga gini terus mah yang ada kotak-kotak, Gi," kataku, "Kapan bisa jadian sama Marco dong?"
"Makan tuh Marco! Gue udah engap gini, masih sempet-sempetnya mikirin Marco!"
Tapi, entah gimana caranya di suatu hari Rabu di minggu ketiga Oktober, aku malas makan ke kantin. Gigi sendiri lebih memilih untuk ke kantin sama temen-temen kelasku yang lainnya. Jadilah aku sendirian di dalam kelas.
Bu Sandra membolehkan kami untuk memainkan instrumen yang ada di dalam ruangannya selama istirahat berlangsung. Itulah yang ku lakukan selama aku sedang malas ke kantin. Bermain piano.
Hari itu aku sedang ingin memainkan lagu Yiruma. Jadilah selama beberapa menit pemanasan, aku berhasil memainkan lagu Reminiscent-nya. Lagu itu cukup membuat jari jemariku hampir terpelintir karena salah menekan tuts piano beberapa kali. Jariku memang tidak cukup kuat kalau harus memainkan lagu-lagu klasik macam Strauss atau Beethoven.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something Wonderful
Teen FictionSudah jadi rahasia umum satu sekolah kalau Dinda suka kepada Marco, dan Marco tidak menyukai perempuan sleboran seperti Dinda. Tapi semenjak Dinda dan Marco terpaksa harus dekat karena sebuah kompetisi piano, semuanya berubah. Dinda Marco kini mulai...