n i n e t e e n

25 4 0
                                    

Nadira

Lampu kelap-kelip yang menghiasi langit-langi ruangan, bunga tulip yang menjadi bunga tema malam hari ini. Dan, jangan lupakan aku, dengan gaun putih selutut yang indah, dengan flower crown putih. Ruangan di dalam hotel yang sudah disewa orang tuaku, dipenuhi teman-teman sekolah yang berdatangan.

Dan runtutan acara hari ini pun bergulir begitu saja.

"Happy birthday, Nad," sapa Lulu dan Farel yang datang bersamaan.

"Thank you udah dateng ya, guys," kata ku.

"Acara candle-nya udah belom?"

Aku menggeleng, "Belom dong. Gimana caranya mau mulai kalau candle-nya belom lengkap?"

Dan saat itu aku melihat Marco datang bersama dengan Dinda.

Sejujurnya, selama hampir tiga tahun aku di SMA, aku tidak pernah mengobrol secara langsung dengan Dinda. Mengenalnya pun tidak. Aku hanya diceritakan oleh Gamal. Mungkin, aku merasa kalau aku sudah mengenalnya karena cerita yang kudapat dari Gamal, namun apalah artinya cerita yang digelontorkan orang lain dengan berkenalan secara langsung bukan?

Menurutku, Dinda adalah gadis yang menarik dan menyenangkan. Mungkin dia moody dan melankolis. Tetapi, aku bisa tahu dari cerita-ceritanya Gamal, kalau dia seorang yang sangat menyenangkan dan saat dia benar-benar menyayangi seseorang, dai akan akan sangat melindungi orang itu. Meskipun hal itu terjadi sebaliknya juga, ketika dia sangat tidak menyukai orang itu.

Maksudku, sebagai teman dia sangat, sangat, sangat baik. Dia merelakan waktunya setiap pulang sekolah untuk melakukan latihan cheerleader tanpa pelatih, hanya bermodalkan video youtube—hanya untuk tim basket sekolah kami supaya bisa ikut Garuda CUP lagi. Belum lagi, saat itu Dinda juga berlatih untuk lomba duet piano dengan Marco yang terkenal sangat pemilih untuk hal apapun.

"Hei, Nad, happy birthday," kata Marco seraya menghampiriku dengan Dinda di sampingnya.

"Thanks udah dateng ya, Marc," kataku. "Lo tahu seberapa susahnya buat bujuk Marco supaya mau dateng ke pesta ini?" tanyaku pada Dinda, berharap dapat mencairkan suasana. Syukurlah gurauan itu ditanggapi dengan kekehan kecil dari Dinda, kemudian dia menyalamiku.

"Happy birthday, Nad," katanya juga. "Gue juga nggak nyangka kalau Marco sekarang suka ke pesta."

"Never. Gue enggak akan mau dateng ke pesta modelan apapun lagi setelah ini," jawab Marco, "Lagian, kalau bukan karena lo sendiri yang bujukin, gue beneran nggak bakalan dateng sih, Nad."

"Sumpah ya, Marc. Hidup lo bener-bener monoton banget!" jawabku.

"Gue ambil snack dulu di sana," kata Marco, lalu meninggalkan aku dan Dinda berdua saja.

Dinda melihat ke sekeliling ruangan, dan aku bisa menangkap kalau dia sedang mencari teman yang cukup dia kenali. Namun, karena yang aku undang kebanyakan anak IPA semua sepertinya dia merasa kurang nyaman dengan teman-temanku yang lainnya.

"Kata Gamal, kemarin lo sakit pas liburan?"

Dinda mengangguk kecil. "Kecapekan gitu deh."

"Dijaga kesehatan, Din. Kan mau UN bentar lagi," jawabku, "Udah tahu nih, mau kulih di mana?"

"Actually, aku lagi apply ke luar negeri."

Aku terkejut begitu mendengar Dinda menjawab dia mencoba apply ke luar negeri.

"Nggaklah," lalu dia tertawa, "Gue pengen sih apply ke luar negeri. Tapi karena gue belum delapan belas tahun juga, jadinya agak sulit. Lagi pula, gue masih pengen coba pilihan kampus di Indonesia dulu. Kalau lo sendiri?"

Something WonderfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang