Marco
Buat ukuran yang hanya latihan kurang dari tiga bulan, dan separuh waktu latihannya dipakai untuk berantem dulu awalnya, dapat juara favorit aja udah lebih dari beruntung. Bu Sandra enggak bilang kalau ada poin-poin tambahan dalam pemilihan lagu. Dan, karena gue dan Dinda memainkan lagu classical new-age, tentunya poinnya tidak akan sebesar pasangan lain yang memainkan duet dari zaman renaissance, classic atau romantic.
"Haduduh.... Ambyar banget kayaknya hati kakak awak!" seru Ririn saat menghampiri gue yang sedang memegang amplop, serta piala juara favorit.
"Berisik ah lo," balas gue.
Satu hal lagi yang tidak Bu Sandra beritahu .
Juara utama lomba duet ini mendapatkan uang tunai sebesar dua puluh juta, dan voucher diskon untuk pembelian grand piano dari sponsor utama sebesar lima puluh persen. Sedangkan jura dua mendapatkan lima belas juta dan diskon dua puluh lima persen untuk grand piano. Juara ketiganya mendapatkan sepuluh jura dan diskon lima belas persen untuk pembelian piano biasa.
Iya, hadiahnya fantastis sekali bukan?
Tapi jangan pikir gue dan Dinda mendapatkan itu semua.
Gue dan Dinda—sebagai peringkat juara favorit—juga mendapatkan hadiah tentunya. Tapi...
"Yah dapet lima juta dibagi dua sama pasangan duet lo juga enggak jelek kali, Marc," ujar Ririn lagi. "Bisalah dipakai buat beli buku fisika baru kan?"
Siapa juga yang mau beli buku fisika baru lagi?!
"Tapi ngomong-ngomong, isi amplopnya apa tuh?" sahut Mama yang muncul dari belakang gue. "Kayaknya sih bukan uang tunainya. Toh, hadiah uang tunainya kan ditransfer sama panitia tadi katanya."
Gue juga penasaran sih sama apa isi amplop putih ini.
Namun, saat gue baru mau merobek isinya, sosok Dinda yang masih dalam balutan dress-nya yang mempertontonkan bagian belakang tubuhnya itu menghampiri gue sambil menenteng jas hitam yang gue sampirkan kepadanya di tangan kanan, dan high heels yang telah dilepasnya di tangan kirinya. Keluarganyanya juga berjalan bersamanya menghampiri gue, Ririn, Mama dan Papa.
Dinda menyodorkan jas hitam milik gue dan berkata, "Thank you buat jasnya tadi Marc and sorry kita enggak juara satu."
Gue menerima jas milik gue balik. "Bu Sandra enggak bilang kalau ada poin di lagu yang dipilih. Kita main new-age gimana mau menang ngelawan yang duet main lagu Nocturne-nya Chopin?" balas gue santai.
Dinda menyunggingkan senyumannya. "Lain kali kita coba lagi gimana? Itu pun, kalau ada kesempatan."
"No problem."
Gue bisa merasakan kalau Mama, Papa dan Ririn lagi cekikikan di belakangku. Mereka memang tengil banget deh kalau soal gue dan cewek. Papa menoel-noel punggung gue dari belakang lalu menyodorkan bunga lili yang telah dirangkai dengan cantik oleh Mama di rumah tadi untuk diberikan kepada Dinda.
Seolah Papa dengan matanya itu mengatakan, 'Buruan kasih! Masa kejadian Meira mau keulang lagi?'
Gue pun meraih bunga itu. "Anyway, ini buat lo. Thanks for the good teamwork."
Raut wajah Dinda sedikit bingung, sedikit senang, sedikit heran. "Thank you"
KAMU SEDANG MEMBACA
Something Wonderful
Teen FictionSudah jadi rahasia umum satu sekolah kalau Dinda suka kepada Marco, dan Marco tidak menyukai perempuan sleboran seperti Dinda. Tapi semenjak Dinda dan Marco terpaksa harus dekat karena sebuah kompetisi piano, semuanya berubah. Dinda Marco kini mulai...