s e v e n t e e n

40 6 0
                                    

Marco

XII IPA 1.

Bosan juga sebenarnya harus kembali ke rutinitas sekolah yang... membosankan? Tapi, selama liburan kemarin kerjaan gue juga hanya di rumah saja setelah pulang dari Taman Safari.

Papa enggak dapat cuti tambahan, dan Mama sibuk membantu salah satu sepupu gue yang mau menikah. Sedangkan Ririn, jangan ditanya. Dia sibuk siap-siap untuk masa orientasi sekolahnya—sebenarnya sekolah yang sama dengan gue juga. Karena Ririn akhirnya masuk di SMA yang sama dengan gue.

Entah ini menjadi tradisi, atau kebetulan belaka untuk kesekian kalinya lagi?

"Serius Rin, jangan sampe kita satu universitas juga nanti," keluhku di atas motor selama membonceng Ririn ke sekolah.

"Dih, emangnya kenapa sih Marc? Kan itu tandanya gue sepintar elo."

"Justru itu. Jangan jadi sepintar gue, Maureen!" Ririn memukul pundakku, enggak terlalu keras, tapi lumayan. "Aw! Lo kenapa sih?"

"Lo yang kenapa!? Masa gue mau sepinter kakak gue sendiri enggak boleh?"

Astaga, dia ternyata enggak dapet maksud omongan gue tadi. "Maksud gue bukan lo enggak boleh jadi sepinter gue Rin. Gue mau lo punya jati diri lo sendiri. Jangan jadikan gue bayang-bayang buat lo." Gue membelokkan stang motorku ke kanan, dan masuk ke pelataran sekolah.

Ririn turun dari jok motor, dan menatap gue dengan tatapan sinis. "Gue enggak pernah merasa lo bayang-bayang gue tapi Marc."

"Yah, mungkin enggak sekarang. Tapi sebelum banyak orang yang membandingkan elo dan gue, lebih baik cari jati diri lo sendiri," balas gue. "You're more than able to make extraordinary works on your own field, rather be ordinary in the same field like I took."

Ririn pun mengembuskan napasnya. "I'll figure it out then." Kemudian dia masuk ke dalam gedung sekolah lebih dulu. Dia haru mencari letak kelasnya. Selama masa orientasi kemarin, dia kelasnya kan belum ditentukan.

Tin-Tin!!

Bunyi klakson mobil kuning yang sudah absen gue lihat semenjak libur sekolah. Pengemudinya pun masih sama, gadis menyenangkan yang cerewet itu. Dia turun dari pintu pengemudi, sedangkan di sebelah kiri, gue melihat Gamal keluar dari pintu mobil. Mereka sepertinya sudah berbaikan.

"Gue duluan, Din," kata Gamal tanpa banyak basa-basi, lalu dia berlari menuju pintu masuk gedung.

Dinda tidak berkata apapun, tapi dia tesenyum ke gue dengan rentetan giginya yang sudah rapih, tanpa kawat lagi. Sepertinya dia sudah memutuskan untuk melepaskan behelnya.

"Hai Marc! Gimana liburannya?"

"Habis dari Taman Safari gue sama Ririn di rumah doang, Din," jawab gue, "Behel lo dilepas?"

Dinda mengangguk cepat. "Iya dong! Udah rapih juga gigi gue kan? Tapi rasanya aneh, ada yang hilang gitu deh di gigi gue."

"Kayak apa?"

"Lebih licin aja. Biasanya ada biji-biji pengganggunya," balas Dinda. "By the way, kelas gue di XII IPS 1 nih, wali kelasnya Bu Ana dong... Galak banget nih pasti. Wali kelas lo siapa? IPA 1 lagi?"

Gue mengangguk. "Masih IPA 1, wali kelas Pak Bernard."

"Pak Bernard itu..."

"Biologi."

Dinda ber-o-ria, sambil kami berdua melangkah, berjalan ke arah gedung. Saat hendak belok kanan, gue sempat menoleh ke kiri, melihat kantin yang sudah harum. Wangi roti panggang dari kantin membuat lapar.

Something WonderfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang