Gamal
Sejujurnya gue enggak tahu gimana ceritanya sampai akhirnya mengiyakan untuk bertemu Dinda. Gue juga enggak inget, gimana ceritanya gue bisa setuju untuk bertemu Dinda, tepat di hari yang sama setelah Marco tahu gue juga suka sama Dinda. Tapi, satu hal yang gue syukuri adalah Marco ikut menemani kami obrolan gue dengan Dinda.
Lama tak bicara apapun dengan Dinda, membuat gue seperti orang asing yang baru kenal dengan Dinda lagi.
Dia terlihat lebih kurus dari terakhir kali gue melihatnya secara dekat. Gue juga baru sadar, kalau rambutnya kini sudah panjang lagi. Dia juga sering memakai jam tangan sekarang.
Sebelum kalian menghujat, biar gue ceritain dulu apa yang terjadi selama delapan bulan terakhir. Setelah gue mencium Nadira di pesta ulang tahunya itu, hubungan gue dan Nadira menjadi aneh.
Memang tadinya Nadira sudah menyatakan bahwa kita enggak bisa bersama, karena perbedaan yang ada. Tapi, setelah ciuman itu dia berubah. Artinya di sini, dia mengubah kembali perasaan yang dimilikinya untuk gue. Dia bahkan terang-terangan bilang, "Kayaknya kita yang kurang berusaha Mal."
Kurang berusaha di sebelah mananya? Coba tolong jelaskan pada gue.
Gue ingat juga beberapa bulan lalu, saat kita semua sedang sibuk dengan ujian praktik Nadira cerita kalau dia mendatangi Marco untuk menanyakan kabar Dinda. Alhasil, Marco marah dan Nadira hanya dijawab dengan jawaban sarkastik.
Saat itu, gue sedang penasaran dengan kabar Dinda.
Walaupun rumah kita sebelahan, tapi gue jarang melihatnya di rumah. Setiap Mama punya masakan yang dibagikan ke sebelah, yang menerima hanya Tante Tika. Sesekali gue cuma tinggal di sana agak lama karena main bareng Epin doang – harapannya sih, bisa ketemu sama Dinda kalau main sama Epin lama. Tapi ujung-ujungnya, gue sama sekali enggak ketemu dia.
Setiap hari Sabtu, gue enggak pernah lihat mobil yang biasa Dinda pakai ada di garasi mobilnya. Saat gue tanya ke Mbak Asih, katanya Dinda sudah pergi mau belajar di luar bareng Gigi, Marco, Farel dan Lulu. Walaupun aneh sebenarnya, karena mereka berlima beda jurusan tapi entah gimana caranya Gigi dan Dinda bisa belajar bareng sama anak IPA.
Satu waktu, Nadira menangkap sorot mata gue yang enggak bisa lepas memandangi Dinda saat kita berpapasan di laboratorium Biologi sepulang sekolah. Dinda sama sekali tidak menyapa gue. Di dalam laboratorium itu, diam-diam Nadira memerhatikan mimik wajah gue yang masih tak keruan setelah berpapasan dengan Dinda tadi.
"Kamu itu suka kan sama Dinda?" tanya Nadira tiba-tiba.
"Udah ah, Nad. Aku enggak suka bahas soal ini lagi."
Nadira yang sibuk dengan laporan tanamannya seketika menghentikan aktivitasnya, untuk bicara kepada gue. "Mal, bagian ini memang nggak enak. Tapi harus dibahas. Kamu enggak bisa selamanya kabur dari masalah. Ini baru masalah kecil, ke depannya kamu bisa mendapatkan masalah yang lebih sulit lagi, tahu?"
Gue enggak mau menanggapi ucapan Nadira itu. Memang separuhnya benar.
"Mal, aku harus bilang terima kasih sama kamu untuk hadiah ciuman itu," kata Nadira. "It was my first kiss, dan yang cium orang yang sangat aku sayangi. Meskipun sebelumnya dia menyebutkan nama cewek lain yang ada di hatinya."
Cara Nadira menghadapi ciuman yang gue lakukan kepadanya saat dia ulang tahun itu sangat dewasa. Gue sama sekali enggak ngerti lagi terbuat dari apa hatinya Nadira?
Dia cerdas, cantik dan dewasa. Sempurna untuk anak SMA.
Lalu kenapa gue masih menyakiti hati gadis yang sempurna ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Something Wonderful
Teen FictionSudah jadi rahasia umum satu sekolah kalau Dinda suka kepada Marco, dan Marco tidak menyukai perempuan sleboran seperti Dinda. Tapi semenjak Dinda dan Marco terpaksa harus dekat karena sebuah kompetisi piano, semuanya berubah. Dinda Marco kini mulai...