e p i l o g u e

101 5 0
                                    

Gamal meletakkan kardus terakhir di dalam mobil.

"Mal, bantuin gue dulu sebentar," panggil Marco yang sedang kesulitan membawa koper.

Gamal pun segera berlari menuju muka pintu, dan membantu Marco. "Yailah, koper enteng begini aja, masih pake minta bantuan segala. Cemen bener sih lo, Marc?"

"Gue bukan olahragawan kayak elo. Lagian, kalau lo disuruh nyanyi di gereja atau main musik juga pasti enggak bisa juga!"

Dinda yang melihat itu dari belakang, langsung menepuk pundak Marco dan Gamal. "Akur dikit napa sih. Lo berdua nanti juga bakalan kos bareng di Bandung. Sebelahan lagi kamarnya! Nggak bisa akur gitu?"

"Kalo bukan karena kepaksa, dan nggak ada kamar kosong lainnya sih, gue juga nggak sudi sebelahan kamar kos sama dia, Din!" seru Gamal.

"Lo kira gue sudi buat sebelahan kamar sama lo?" balas Marco tak mau kalah.

Dinda geleng-geleng kepala. Heran juga, kenapa mereka bisa diterima di FTI ITB. Mungkin beruntung? Tapi melihat kemampuan otak mereka selama di sekolah dulu, Dinda yakin kalau mereka bisa masuk jurusan Teknik Kimia di semester kedua nanti. Apalagi, mereka satu kos-kosan. Tidak mungkin mereka tidak belajar bersama kan?

"Siapa juga yang mau belajar bareng sama lo?" tambah Marco.

Dinda hanya menarik napas panjang.

Dua minggu yang lalu, Dinda dan Gigi ikut ke Bandung, menemani mereka berdua daftar ulang. Iya, keren sekali bukan? Hanya berempat. Bodohnya, setelah acara daftar ulang itu, mereka berempat melanjutkan agenda mereka berikutnya.

Tujuan utamanya Dinda dan Gigi sebenarnya memang untuk jalan-jalan dan berburu baju di factory outlet. Setelah berkeliling Bandung, mereka bergantian menyetir sampai Lembang, dan menginap di mobil. Esok paginya, mereka mencari pom bensin untuk mandi dan bersih-bersih.

Hemat sekali bukan?

Barulah setelah itu mereka ke Bandung lagi, membeli oleh-oleh dan pulang ke Jakarta lagi.

Mereka kira, sudah selesai dengan segala urusan administrasi kampus maka semuanya sudah selesai. Tapi, rupanya mereka melupakan hal yang paling vital. Tempat tinggal selama mereka kuliah belum dicari. Alhasil, orang tua Marco dan Gamal mengomeli mereka karena kebodohan mereka sendiri. Barulah minggu lalu, orang tua Marco dan Gamal sempat mengantarkan anaknya untuk mencari kos-kosan.

Tentu saja, Dinda dan Gigi ikutan lagi. Orang tua Dinda ingin lihat dan membantu mencarikan juga sih katanya tempat tinggal untuk sahabat anaknya itu. Tentu saja itu hanya menjadi akal-akalan orangtuanya Dinda supaya bisa ke Bandung juga. Akhirnya, Marco dan Gamal dengan orang tuanya mencari kos-kosan di sekitaran Kota Bandung, sedangkan Dinda, Gigi, dan orang tuanya jalan-jalan di Braga. Sangat membantu sekali bukan?

"Lo yakin nih, nggak mau kita temenin ke sana juga, Din?" tanya Gamal memastikan. "Lo udah nemenin kita bolak-balik Bandung dari kemaren, masa giliran lo mau daftar ulang, sekaligus pindahan ke kos di sana kita nggak nemenin lo sih?"

"Astaga!!!" keluh Gigi. "Kalian berdua bisa nggak usah mellow begitu jadi cowok?!"

"Tahu ih," tambah Dinda. "Tempat kuliah gue bukan berjarak dua jam pulang-pergi dari Jakarta. Tapi bisa setengah hari lebih kalau nggak lewat tol. Lagian, lusa nanti kalian juga harus ke Bandung lagi kan?"

Marco dan Gamal memasang muka cemberut karena sedih. "Lo yakin, Din, nggak mau ikut SBMPTN lagi tahun depan?" tanya Marco. "Peruntungan lo bisa lebih bagus kali tahun depan."

"Sejak kapan lo paham soal peruntungan?" tanya Dinda bali pada Marco. "Ledwin juga kuliah di Salatiga kali dan dia baik-baik aja tuh. Nggak ada yang salah dengan tempat kuliah gue yang baru, Marc. And stop saying gue bakalan jadi orang udik karena kuliah di Jawa."

"Lo yakin bisa bertahan di sana, Din?" tanya Gamal lagi untuk meyakinkan.

"Cengeng banget sih kalian berdua?!" seru Gigi, "Gue juga sedih ya, asal kalian berdua tahu! Tapi, gue bisa apa? Masa iya, Dinda harus nganggur setahun sambil ngelihat kita bertiga sibuk dengan kampus masing-masing?" Gigi melihat Dinda dan tersenyum terakhir kali untuknya. "Kalau lo masih mau ikut SBMPTN lagi tahun depan, itu keputusan dan hak lo. Yang paling penting, adalah gimana lo bisa belajar dengan baik di Salatiga sana."

Hanya Dinda yang tidak berhasil lolos SBMPTN kemarin.

Gigi diterima di FEB Udayana. Jauh sekali bukan?

"Harusnya yang kalian ceramahin itu Gigi," kata Dinda. "Kalian pikir, apa gampang buat kuliah di Bali? Godaannya buat bolos kuliah dan party-party jauh lebih gede tahu!"

Tak lama setelah itu, kedua orang tua Dinda keluar dari rumah, dengan Epin yang digandeng. "Udah siap?" tanya Tante Tika. Ayahnya Dinda langsung masuk ke kursi penyetir, untuk memanaskan mobil yang akan dibawanya menuju Salatiga. "Makasih ya, kalian sudah mau repot-repot bantuin Dinda buat pindahan ke Salatiga. Yuk, Din, kita jalan sekarang biar nggak kemaleman sampai di Pekalongan nanti." Tante Tika dan Epin langsung masuk ke dalam mobil, mengambil tempat duduk di sebelah suaminya.

Dinda merangkul ketiga teman dekatnya itu, "Good luck ya guys buat semuanya. Keep in touch buat seterusnya ya."

"Dinda, buruan!" seru Tante Tika.

"Iya Mam!" seru Dinda balik. "Gue cabut ya. Dadah!"

-----

To be continue. . . 

Something WonderfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang