Gamal
Ada yang pernah punya pengalaman pacaran beda agama?
Kayaknya ini pengalaman yang lumrah dan banyak di alami oleh anak-anak remaja. Apalagi, kalau kalian bersekolah di sekolah umum yang siswanya terdiri dari latar belakang yang berbeda-beda, termasuk agama yang tidak hanya satu yang menonjol.
Gue pernah sekolah di sekolah swasta dan beragama sama dengan gue. So, tidak ada masalah di sana itu sewaktu gue SD. Di SMP, gue pindah ke SMP swasta umum favorit dan sampai sekarang gue di sini. Pengalaman cerita naksir dan kandas karena beda agama adalah hal yang biasa terjadi di sini.
Vala, adalah cinta pertama gue. Dia adalah ketua cheerleader SMP gue.
Apakah itu menjadi titik awal gue kenal dengan Vala? Tentu tidak.
Gue sudah mengenal Vala jauh sebelum kita berdua menjadi ketua di ekskul masing-masing. Dia teman sekelas gue waktu kelas tujuh. Sebagai anak SMP yang masih baru, dan enggak punya banyak temen, gue cukup culunlah.
Sedangkan Vala?
Jangan ditanya. Dia bak primadona. Supel, dan sangat murah senyum. Makanya jangan heran banyak orang yang iri juga ketika Vala aku tembak, dan menerima perasaan gue saat kenaikan kelas dari kelas delapan.
Dan... long story short, kalian tahu apa yang terjadi dengan gue dan Vala. Kita putus, dengan alasan Vala yang pindah ke luar kota. Walaupun alasannya karena LDR, tapi buat gue, cepat atau lambat pun, gue dan Vala akan benar-benar putus juga. Maksudnya, ayolah. Siapa yang bisa menebak kemana akhir sebuah kisah hubungan beda keyakinan saat kalian masih berada di sekolah menengah begini?
Alasannya paling-paling karena dua saja. Pertama, karena kita beda agama dan enggak akan ada yang mau mengalah untuk meninggalkan agamanya untuk menjadi satu. Atau kedua, karena LDR. Maksud gue LDR di sini secara harafiah memang karena jarak yang memmisahkan, ataupun distance karena iman dan amin kita yang berbeda.
Berat yah?
Gue sendiri juga capek masalahnya dengan keadaan yang begini. Tapi, alih-alih mencari aman dan melupakan bayang-bayang cewek selama SMA, gue malah terjebak untuk kedua kalinya dalam situasi yang hampir sama dengan yang gue alami dulu waktu SMP.
Nadira menjadi satu alasan yang menyenangkan buat gue bangun pagi, dan bergegas ke sekolah. Asyiknya lagi, kita berdua nyambung banget buat ngobrol panjang lebar tentang hal-hal yang selama ini gue enggak bisa bagi ke siapapun. Entah itu hobi baca manga gue, atau basket gue, atau keinginan gue buat kuliah di luar negeri, dan masih banyak lagi.
She's a good listener. Dan gue ingin didengarkan.
Jalan di mall selama sejam bareng Nadira udah membuat gue overwhelmed.
"Bu Yani ngabarin aku buat siap-siap ikut OSN bulan Februari nanti. Katanya aku bisa ngisi buat pelajaran fisika. Kamu jadi ngisi kimianya?" tanya Nadira ke gue, sementara dia menyedot minumannya dan menguyah boba-boba hitam di mulutnya.
"Kimia ya? Yah kalo enggak dapet kimia paling matematikanya sih Nad," balas gue.
To be honest, Bu Yani sebagai koordinator olimpiade-olimpiade di sekolah ini sangat selektif dalam menyeleksi siswa yang akan diikut sertakan. Apalagi kalau menyangkut OSN—yang ibaratnya ujung tombak sekolah—yang sangat-sangat diminati oleh banyak siswa, dan kuotanya kecil. Gue emang pede buat ikut OSN, toh nilai gue enggak jelek. Tapi, kalau gue inget-inget lagi lawan yang juga pengen mengisi slot di pelajaran kimia rasanya gue bakalan mundur perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something Wonderful
Teen FictionSudah jadi rahasia umum satu sekolah kalau Dinda suka kepada Marco, dan Marco tidak menyukai perempuan sleboran seperti Dinda. Tapi semenjak Dinda dan Marco terpaksa harus dekat karena sebuah kompetisi piano, semuanya berubah. Dinda Marco kini mulai...