e i g h t e e n

27 7 0
                                    

Marco

Jadi, gue diundang ke pesta ulang tahunnya Nadira.

Bukan sembarang ulang tahun loh.

Sweet seventeen.

Kalian tahu pasti euphoria-nya bukan? Khususnya bagi cewek-cewek.

Tidak dipungkiri memang, banyak sekali anak gadis di sekolah gue yang merayakan ulang tahun ketujuh belasnya dengan cara yang—mereka anggap—istimewa. Katanya sih, kan mereka menuju legal age, dan sekaligus perayaan besar terakhirnya sebelum mereka masuk kuliah. Tapi, bukan masalah juga sebenarnya untuk gue datang ke acara sweet seventeen siapapun itu. Dan, rupanya Nadira adalah salah satu cewek yang ikut termasuk dalam golongan yang tidak mau melewatkan sweet seventeen­-nya.

Pertanyaannya, apakah gue memang sedekat itu dengan Nadira? Tentu tidak.

Apakah gue kenal Nadira dengan baik? Tentu saja. Tidak.

Apakah ada kewajiban untuk gue menghadiri acara sweet seventeen Nadira? Iya. Karena dia sudah memberikan undangan itu ke gue hari ini.

"Datang ya Marc," katanya dengan senyum sumringah yang lebar.

"Tapi temen lo yang datang aja udah banyak Nad. Kenapa lo ngundang gue lagi?" Gue ingat, teman-temannya Nadira memang banyak. Meskipun dia enggak secerewet Dinda, dan enggak sepopuler Dinda yang memang notabene hits untuk kalangan anak IPS. Nadira yang enggak banyak tingkah ini juga punya banyak teman. Dia aktif ikut PMR, pernah menjadi OSIS tahun lalu, dan dia juga pintar. Hanya saja, gue enggak pernah sekelas dengan dia dari kelas X.

"Karena lo temen sekelas gue sekarang. Dan teman sekelas gue diundang semua. Jadi, enggak ada alasan untuk enggak datang, dan buat gue enggak ngundang lo, Marco."

Oh damn. Ini masih bulan Agustus.

Menjelang Agustus akhir, tepatnya. Ulang tahun Nadira ada di akhir pekan pertama setelah masuk sekolah!

Kenapa gue sudah disemprot dengan undangan ulang tahun seperti ini?!

"Kalau gue titip kado aja gimana, Nad?" tanya gue, mencoba negosiasi agar tidak perlu datang.

Seketika, gue bisa melihat raut wajah Nadira berubah. Sorot matanya seperti meredup. "Masa titip kado doang sih, Marc?" gerutunya, "Gue tahu lo se-ambisius itu buat masuk PTN. Tapi satu hari Sabtu ngelewatin bimbel nggak akan bikin nilai lo langsung anjlok kok, seharusnya."

Sekarang gue yang jadi merasa bersalah kepada Nadira.

Mungkin ini kenapa alasannya Gamal naksir sama Nadira. Dia memang baik, dan ramah. Memberikan alasan yang bisa diterima, dan singkatnya memang cantik.

Herannya, kenapa yang seperti Nadira ini dia PHP-in?

"Yailah Nad, kalo Marco bilang titip kado, itu artinya beneran cuma dia titipin kado aja," ujar Lulu yang ternyata dari tadi memandangi gue dan Nadira. "Lagian, Si Marco mau ngasih kado aja udah alhamdulilah deh, Nad."

Farel—yang kebetulan sekelas lagi dengan gue untuk ketiga kalinya di SMA ini—setuju dengan ucapan Lulu, dengan memberikan anggukan mantap. "Tahun lalu, Helen ulang tahun aja dia nggak mau dateng sama sekali. Kado aja juga nggak dia kasih."

Gue langsung memasang mata tajam ke Farel. "Lo jangan ngerusak nama gue gitu, dong. Kesannya gue jahat banget Rel, gara-gara nggak datang ke ulang tahun Helen."

"Emang lo jahat banget, Marc. Udah tahu sendiri, Helen kayak se-intens itu interaksi sama lo dari jauh-jauh hari, sampai nyari jadwal kosong lo kapan, biar lo bisa dateng ke acara ulang tahunnya dia. Eh, malah dengan dinginnya lo bilang nggak bisa dateng sama sekali, soalnya harus latihan piano."

Something WonderfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang