t w e n t y - t h r e e

60 5 0
                                    

Dinda

Aku pernah baca sebuah kutipan yang bilang kalau kamu suka sama dua orang yang sama di waktu yang bersamaan, pilih orang yang kedua. Karena kalau memang kamu sangat menyukai orang yang pertama, kamu tidak akan menyukai orang yang kedua itu.

Tapi bagaimana kalau ada dua orang yang sama yang menyukai kalian, tapi kalian sendiri bingung harus memilih yang mana di antara kedua orang yang sayang sama kalian itu?

Itu pertanyaan yang sampai sekarang pun nggak bisa gue jawab.

Aku janji kepada Marco dan Gamal akan menentukan pilihanku setelah pengumuman SNMPTN keluar. Tapi setelah pengumuman itu keluar, kami bertiga malah sibuk semua dengan latihan-latihan soal untuk SBMPTN.

Ya, betul. Tidak ada yang diterima melalui jalur SNMPTN itu.

Marco, dengan pilihannya di FK UI berakhir dengan penolakan. Gamal, dengan pilihan FTI ITB juga berakhir dengan penolakan keras – well, sebenarnya dia masih punya pilihan FKG Brawijaya, tapi kalian sendiri tahu bukan kalau Gamal memang tidak ingin jadi dokter. Sedangkan aku dan Gigi meratapi nasib kita berdua saat ditolak UNS.

"Kalau tahu begitu, mendingan sekalian pilih FEB UI aja kemaren gue, Din," kata Gigi sambil menangis dengan ingus yang mengalir. "Sakit banget tahu rasanya ditolak sama UNS! Nanggung banget rasanya. Gue sengaja nggak ambil UI karena gue tahu bakalan terang-terangan ditolak. Tapi gue udah ambil UNS, dan masih ditolak juga!? Mendingan gue ambil UI aja dari awal."

Gue sama Gigi memang berharap akan diterima di UNS. Aku dengan jurusan Ilmu Hukum sedangkan Gigi dengan pilihannya di Ekonomi Pembangunan. Tapi akhirnya, tidak ada yang diterima di UNS.

Upacara kelulusan sekolah diselenggarakan dua hari setelah pengumuman SNMPTN itu. Percayalah, itu adalah hari kelulusan yang sangat menyedihkan sepanjang sekolah ini berdiri. Kenapa? Tentu saja karena juara umum dari paralel IPA dan IPS-nya tidak ada yang diterima SNMPTN.

Dalam pidato kelulusannya, Marco memberikan pidato motivasi yang seolah ditujukan untuk dirinya sendiri.

"Tidak peduli seberapa besar usaha yang kalian sudah lakukan selama bersekolah, belum tentu usaha itu yang akan dilihat. Hari ini adalah awal langkah yang baru untuk masa depan kita. Jangan berhenti berusaha meskipun harapan yang kalian ingin capai tidak terwujud."

Menyedihkan bukan?

Naasnya lagi, Farel diterima di Teknik Sipil ITS, begitu juga Kirana dan Tita di Teknik Sipil Undip. Sedangkan Lulu, FKH IPB. Tim basketnya Gamal juga diterima di kampus impiannya mereka. Oliver di FTSL ITB, Tito di Teknik Pertambangan Unsri, Patrick di Agroteknologi IPB dan Ben di FK UGM. Sementara mereka semua sedang sibuk mengatur masa depan melalui registrasi ulang ke kampus masing-masing. Aku, Gigi, Marco dan Gamal masih bertahan dengan latihan soal SBMPTN.

Oh iya. Aku lupa soal Nadira.

Gadis manis itu memilih untuk kuliah di Australia. Deakin University sudah menerimanya di jurusan Biomedical Sciences. Harus ku akui, dia memang sangat pintar. Bahkan saat kelulusan kemarin saja, Nadira sudah tidak ada. Dia perlu melakukan penyesuaian bahasa, dan mempelajari beberapa matakuliah dasar sebelum masuk kuliah. Entah kapan dia akan kembali ke Indonesia.

"Sumpah, gue bakalan rajin-rajin ke gereja kalau gue diterima!" janji Gigi putus asa, saat sedang menanti-nantikan pengumuman SBMPTN di kamarku.

"Jadi, kalau lo ditolak, artinya lo mau jadi ateis begitu?" celetuk Marco. "Optimis dong jadi orang. Baru ditolak satu kali sama UNS doang, Gi."

Gigi langsung memasang tatapan sinisnya kepada Marco. "Baru sekali pala lu peang! Lo enak bisa ngomong kayak gitu karena udah diterima Nanyang!"

"Tapi gue nggak daftar ulang Gi. Nanyang juga nggak nungguin gue buat selamanya kali," balas Marco. "Harusnya lo ngomelnya ke Gamal kalau mau. Dia tinggal terbang ke Malang, ngelengkapin berkas, udah resmi deh jadi anggota almamater biru gelap itu. Dianya aja yang aneh, masih kepengen nyoba-nyoba ikut SBM segala."

Something WonderfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang