Gamal
Gue akui, memang gue sempat khawatir saat Dinda kehilangan kesadarannya. Sebenarnya gue ingin membawanya ke lantai tiga, ke kamarnya. Namun kalian ingat bukan? Berat tubuh Dinda jauh berbeda dengan Nadira yang—amat—ringan. Untung saja, orang tua Dinda sengaja mendesain rumahnya dengan satu ruang tamu di lantai dasar.
Tapi, kenapa dengan bodohnya, gue harus mengungkit soal Marco lagi? Padahal gue jelas-jelas tahu, Dinda baru siuman. Kenapa pertanyaan gue malah menjurus tentang Marco terus.
"Nih, buat Dinda. Kamu temenin dulu ya Mal. Nanti Mama susul habis mandi."
Tanpa menunggu instruksi lanjutan dari Mama, gue pun langsung membawa beberapa tempat makan yang sudah dimasukkan Mama ke dalam paper bag.
Saat sampai kembali di rumah Dinda, rupanya anak itu sama sekali tidak menyalakan lampu rumahnya. Entah lampu depan, entah lampu di dalam rumahnya. Sehingga kesannya rumah ini tidak berpenghuni.
"Din, lampu depan gue udah nyalain ya," kata gue, saat gue masuk ke dalam kamar tempat dia beristirahat. "Gue bawain anggur nih. Mama beli soto ayam. Lo mau makan buahnya duluan atau makan sotonya langsung?"
"Ada rambutan enggak?"
"Apa?"
"Rambutan. Gue pengen rambutan, Mal... Ada enggak?" tanya Dinda dengan wajah penuh harap.
Gue menggeleng dengan wajah bingung.
"Tapi gue maunya rambutan Mal..."
"Jangan rewel deh Din. Ini makanan udah ada. Makan dulu!"
"Mau rambutan... hiks.. hikss.."
Ini anak pakai acara nangis segala lagi! Lagi pula, memangnya ssekarang lagi musim rambutan? Mau cari di mana juga rambutan?! Tapi ini anak enggak bakal berhenti nangis kalau belum dapat apa yang diinginkannya.
"Ya udah iya, entar gue cariin rambutan. Tapi sekarang lo makan dulu."
"Tapi..."
"Makan, Adinda. Gue enggak mau lo tambah sakit," kata gue dengan tegas. "Tolong jangan bikin gue tambah pusing lagi Din. Lo itu kalo sakit selalu bikin orang enggak tenang tahu!"
"Salah gue lagiii? Iya yah? Huaa..."
Bagus banget emang lo, Mal. Paling jago bikin anak orang nangis!
---
Dinda
Iya, aku ambruk.
Iya, aku merasa badanku rasanya lepas semua sendi-sendinya.
Tapi, aku enggak nyangka dengan sakit, Gamal bisa perhatian kayak begini sama aku.
Sejak aku sakit beberapa hari ini Gamal yang mengantarkan makananku. Dia menungguiku, dan bahkan dia sampai mencarikan rambutan untukku. Entah di mana akhirnya dia menemukan buah musiman itu. Tentu saja aku sangat senang begitu aku melihat Gamal membawa seikat buah rambutan masuk ke dalam kamar.
"Ya ampun Non Dinda!!" seru Mbak Asih yang mendapati aku sedang makan buah rambutan di dalam kamar tamu. Tentu saja, Mbak Asih berseru kaget.
Pertama, aku sedang dalam keadaan kacau yang tidur di lantai dasar. Kamar tamu yang dibuat dan diperuntukan bagi tamu, malah aku pakai. Kedua, pintu kamarnya terbuka lebar-lebar, makanya begitu Mbak Asih masuk, segala tentengan yang dibawa olehnya langsung dia lepaskan. Dan ketiga—ini yang paling penting—buah rambutan itu lengket. Banget. Pasti sulit buat Mbak Asih membereskan tetesan dari buah rambutan yang ku makan itu.
"Non Dinda sakit kok enggak bilang-bilang?!" Sambung Mbak Asih sambil menghampiri aku tanpa menghiraukan adanya Gamal juga di dalam kamar. "Non enggak bilang-bilang ke Bapak sama Ibu? Kalo Mbak Asih enggak pulang duluan minggu ini Non gimana?"
Aku langsung menenangkan Mbak Asih, mengatakan kalau aku baik-baik saja. "Tenang Mbak. Gamal sama Tante Debi udah rawat Dinda kok. Lagian bukannya Mami sama Papi pulang besok?"
Mbak Asih langsung menggelengkan kepalanya. "Ceritanya ribet deh Non. Mbak kira tadinya mau pulang bareng juga gitu kan. Tapi karena Den Ledwin ada libur lumayan lama, akhirnya diperpanjang deh liburan dan jalan-jalannya. Mbak kasihan kalo Non sendirian terus di rumah, jadi Mbak pulang duluan, pamit sama Bapak, Ibu buat balik sendirian ke rumah. Biar ada temennya Non Dinda."
Tanpa ku sadari, aku langsung tersenyum senang. "Makasih ya Mbak. Kayaknya perhatian banget deh sama aku. Sampai bela-belain pulang duluan demi Dinda."
Gamal yang berdiri di belakang Mbak Asih ikut tersenyum. Sepertinya dia juga ikut lega karena aku sudah ditemani oleh Mbak Asih. "Mbak Asih udah balik nih. Jadi, gue balik ke rumah aja ya."
"Eh..." aku hendak menahannya secara spontan.
"Anu, Non, Mbak beres-beres dulu. Den Gamal temenin Non Dinda dulu ya. Mau minum apa?" Gamal merespons dengan gelengan pelan. "Ah iya juga, udah semingguan di sini, pasti Den Gamal bikin minumnya sendiri. Mbak mandi dulu ya." Mbak Asih pun meninggalkan kamar tamu, dan bergegas beres-beres.
Gamal pun memperhatikan aku lamat-lamat. "Lo baik-baik aja sekarang." Punggung tangan kanan Gamal mengecek apakah suhu tubuhku masih tinggi. "Panas lo juga udah turun. Gue balik dulu kalo gitu ya."
Saat Gamal hendak membalikkan tubuhnya, detik itu juga aku langsung meraih tangannya, seolah menunjukkan bahwa aku tidak ingin dia pulang ke rumahnya. "Temenin gue aja di sini, Mal."
Kenapa aku jadi childish begini cuma karena Gamal mau pulang ke rumahnya.
Lagi pula, rumahnya hanya di sebelah rumahku juga! Kenapa aku enggak mau dia pergi?
"Mal..."
Gamal pun kembali duduk di pinggiran tempat tidur, dan mengawasiku. "Gue telponin Marco aja gimana? Pacar lo pasti pengen tahu juga keadaan lo."
Pacar? Pacar dari mana?
Gamal bisa menyimpulkan kalau Marco dan aku berpacaran dari mana? Memangnya ada gosip apa lagi yang didengarnya dari anak-anak basket yang mulutnya lemes semua itu?
Tunggu dulu. Aku ini kenapa?
Dulu, kalau Gamal meledekku 'pacarnya Marco,' aku akan merasa sangat-sangat senang. Bahkan memintanya untuk mengulang-ulangnya terus. Seolah ucapan yang dikatakan Gamal itu menjadi mantra, agar aku dan Marco beneran bisa jadian.
Tapi kenapa semuanya terasa berbeda?
Atau...
"Din? Lo mau gue telponin Marco?"
Jangan-jangan aku sudah tidak menyukai Marco lagi?
"Din?" panggil Gamal untuk kesekian kalinya. "Lo mau apa?"
"Temenin gue di sini. Please."
KAMU SEDANG MEMBACA
Something Wonderful
Teen FictionSudah jadi rahasia umum satu sekolah kalau Dinda suka kepada Marco, dan Marco tidak menyukai perempuan sleboran seperti Dinda. Tapi semenjak Dinda dan Marco terpaksa harus dekat karena sebuah kompetisi piano, semuanya berubah. Dinda Marco kini mulai...