t h i r t e e n

41 9 0
                                    

Dinda

Bisa-bisanya Gamal enteng banget ngomong kayak begitu.

Dari sekian banyak kalimat yang bisa dia sampaikan dan bisa omongin, kenapa dia harus berpikiran sejahat itu ke Marco?

"Kamu kenapa?" tanya Marco, yang duduk di tribun saat aku kembali dari ruang ganti pemain. "Tadi kayaknya seneng-seneng aja?"

"Gamal nyebelin."

Kalau emang menurut Gamal, Marco itu cuma PHP-in aku, kan enggak ngerugiin dia juga. Kalau aku yang sakit hati, sampai nangis-nangis bombay—kayak waktu Aswin jadian sama cewek lain—yang sakit pun juga aku. Kalau aku sampai...

"Din, mau ikut ke Puncak enggak?"

Aku menoleh kepada Marco. "Puncak?" ulangku, karena aku pikir aku salah mendengar. Ayolah, arena gymnasium yang digunakan untuk pertandingan basket ini sangat-sangat ramai. Jangan salahkan aku, kalau aku jadi sedikit tuli.

"Iya, ke Puncak. Mau ikut enggak?" tanya Maro lagi. "Palingan, pas libu kenaikan kelas sih. Mama sama Ririn pengen banget ke Taman Safari terus pengen nginep di sana juga. Katanya sih, pengen nyoba yang Night Safari itu."

Night Safari?

Itu kan mahal!

Kok bisa-bisanya Marco nawarin aku buat ikut sama keluarganya jalan-jalan ke sana?

"Tapi kalau kamu enggak bisa, juga enggak apa. Tanya dulu ke orangtuamu, ya."

Aku bukannya enggak mau. Tapi lebih ke arah sungkan.

Apa yang Marco lakukan kepadaku sudah sangat-sangat... Maksudku, sudah lebih dari apa yang dapat ku bayangkan. Seperti yang ku katakan, aku tidak pernah berekspektasi untuk mendapatkan semua perhatian Marco seperti saat ini.

Jangan berekspektasi. Berharap saja tidak pernah.

Lambat laun, Marco telah menyusup masuk lebih dalam lagi dari pada sekedar makan bersama di kantin, atau membantuku mengerjakan PR matematika, atau latihan piano lagi setelah pulang sekolah—biasanya sambil menunggu dia untuk bimbel. Dia mulai memperhatikanku.

Atau, hanya aku saja yang geer?

Ah! Aku tidak tahulah.

Namun satu hal yang pasti, yang ku ketahui adalah aku sudah jatuh terlalu dalam kepada Marco.

---

Setelah pertandingan basket itu, aku keluar dari cheers. Memang dasarnya aku saja, yang hanya penasaran sesaat terhadap cheers. Aku memberikan jabatan 'ketua' cheers itu kepada Erin, anak kelas X yang pernah mengikuti cheers sedari SMP.

Soal aku dan Gamal?

Dia lebih menyebalkan dari yang ku kira. Sangat menyebalkan.

Bahkan Gamal sendiri tidak pernah menghubungiku, atau sekedar say hello saja tidak.

Gengsi tinggi banget kali ya?

"Jadi, begini ya anak-anakku," ujar Bu Sandra, sebelum kami doa pulang sekolah. "Kalian ingat sekarang sudah bulan apa?"

Anak-anak di kelasku saling memandang satu sama lain. "Baru juga bulan Mei, Bu."

"Baru dari mana?" balas Bu Sandra, "Ini 30 Mei! Lusa sudah Juni! Sebentar lagi kalian libur tandanya."

"Lah iya, bulan depan kita UAS!" seru Riko, Si Ketua Kelas.

Something WonderfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang