Dinda
Aku berdiri menghadap cermin di kamarku. Kamar ku yang berada di lantai teratas rumah, dan berlangitkan kaca, agar aku bisa melihat langit malam, tentunya mendengarkan suara hujan turun ketika hujan.
"Dinda! Entar telat loh! Ayo buruan!" seru Mami dari bawah.
Aku sedikit tidak percaya kalau orangtuaku, kakakku dan adikku hari ini akan ikut menemaniku ke lomba piano hari ini. Memang suatu hal yang kebetulan karena Ledwin mau pulang dari Salatiga hanya untuk datang ke lomba pianoku. Katanya sih, dia penasaran banget gimana hasil latihanku dan cowok yang aku taksir dari awal SMA itu
Orangtuaku bisa digolongkan orangtua yang hangat—seharusnya. Kenapa seharusnya? Karena kalau saja mereka lebih banyak bicara, saling komunikasi di rumah, dan pastinya meluangkan waktu mereka untuk Ledwin, aku dan Epin. Apalagi Epin! Adikku baru pertama kalinya menemaniku ikut lomba piano. Karena selama ini dia terlalu rewel untuk duduk diam selama berjam-jam di dalam ruangan kedap suara, yang ada dia malah bikin rebut saja pas peserta lain lagi main pianonya.
"Dinda! Kok lama banget sih?" suara Mami yang nyaring masih memanggilku dari lantai bawah namun semakin jelas suaranya. "Mami naik nih."
Aku buru-buru keluar kamarku, menenteng sepatu high heels yang dibelikan Mami dua hari lalu yang berwarna senada dengan halter neck midi dress yang kupakai, broken white.
"Iya ini udah turun Mam!!" seruku begitu sampai di belokan tangga terakhir sebelum sampai di lantai dasar rumahku. "Masa Dinda pakai baju ini sih Mam? Malu tahu..."
"Ih kok malu? Bagus begitu! Iya kan Pap?" tanya Mami ke Papi yang sedang menggendong Epin. Papi hanya manggut-manggut setuju dengan pernyataan Mami. "Bagus dong. Bagus banget malah," imbuh Papi.
"Ah, enggak ah. Dinda ganti aja pakai yang biasa!" Aku enggak pede sama sekali dengan baju halter neck begini. Lenganku yang besar semakin terekspos kemana-mana rasanya.
Aku segera membalikkan badanku untuk naik lagi ke kamarku.
Namun, Ledwin yang persis sampai di tiga anak terakhir sebelum menyentuh lantai dasar langsung mendorongku mundur.
"Don't ever think about that, Din," balasnya dengan senyuman jahilnya yang biasa. "Lo enggak liat sekarang udah jam berapa? Lo pikir dari rumah ke tempat lomba lo itu sebentar?"
"Tapi—"
"Enggak ada tapi-tapian, udah buruan!" sambung Mama, seolah setuju dengan pernyataan yang dikatakan Ledwin.
"Tapi Pa—"
"Yuk, buruan. Itu mobil udah dipanasin dari tadi, tinggal jalan nih," sahut Papi. "Led, nyetirnya yang bener ya. Jangan ngebut!"
"Tergantung situasi dong Pap..."
---
Gamal
Rumah sebelah sedang ramai-ramainya hari ini. Mereka semua berangkan ke lomba duet piano yang diikuti Dinda pastinya hari ini, dan gue baru bersiap-siap untuk pergi ke sekolah hari ini.
Iya, kalian enggak salah baca.
Gue harus ke sekolah buat latihan fisik. Garuda CUP sisa beberapa bulan lagi, dan gue enggak boleh lengah sedikitpun untuk latihan. Target kita bukan cuma juara dua, tapi juara satu. Dari tahun ke tahun, gue sudah muak dengan titel runner-up yang disandang sekolah gue. Entah kapan terakhir kali sekolah gue meraih juara satu di Garuda CUP.
"Ke sekolah lagi, Mal?" tanya sebuah suara yang sudah amat jarang aku dengar di rumah. Suara Mama yang tetap lembut seperti dulu, namun kini seolah tergerus menjadi kaku. "Kamu mau sampai kapan main basket itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Something Wonderful
Teen FictionSudah jadi rahasia umum satu sekolah kalau Dinda suka kepada Marco, dan Marco tidak menyukai perempuan sleboran seperti Dinda. Tapi semenjak Dinda dan Marco terpaksa harus dekat karena sebuah kompetisi piano, semuanya berubah. Dinda Marco kini mulai...