f i v e

69 7 0
                                    

Dinda

Jariku memainkan melodi River Flows in You, sedangkan Marco memainkan nada-nada rendah untuk mengisi harmoninya. Kami memang mengacu pada duet lagu River Flows in You sebagai lagu yang akan kami mainkan.

Setelah memakan waktu hampir dua bulan latihan di sekolah, kita berdua rasanya nggak ada chemistry buat main lagi indah itu. Bukannya jadi terdengar bagus dan memikat, yang ada nadanya berantakan seperti piano yang belum di stem selama bertahun-tahun.

Tidak ada harmoni yang terdengar.

"Kalian ini main piano atau lagi dikejar-kejar polisi sih?" Tanya Ko Ferry. "Kamu kan bisa main piano bagus-bagus Sha. Kenapa jadi kayak kapal pecah gitu? Temponya ngawur, dinamiknya nggak ada, kehabisan jari."

Itu adalah kritikan paling menampar bagiku. Buatku, kalau nggak bisa dapet nilai matematika 70 bukan hal yang aneh, sebaliknya kalau aku bisa dapet nilai ekonomi 98 bukan hal yang harus aku pusingkan lagi. Karena nilai akademik ya hanya sebatas pengakuan akademis di sekolah aja.

Tapi beda ceritanya kalau sudah soal bermain piano. Karena aku sendiri, merasa piano adalah bakat yang aku asah sejak kecil dan sudah menjadi hobiku sejak umurku enam tahun.

Ada satu hobiku yang lain. Menulis cerita.

Aku suka menulis cerita karena aku berharap, kelak cerita-cerita yang ada di novel-novel itu bisa terjadi kepadaku. Harapanku sih begitu.

"Teman kamu ini siapa namanya?" Tanya Ko Ferry.

"Marco."

"Nah, Marco. Kamu santai juga. Kalian berdua ini main piano tapi nggak rileks. Iya tahu, kalian mau lomba, tapi kalo nggak rileks, gimana mau oke suara pianonya?" Tanya Ko Ferry kepada kami berdua. "Kalian berdua ada bakatnya. Tapi nggak ada chemistrynya."

Itulah masalah kami berdua dari kemaren-kemaren. Bu Sandra sempat ngerasa menyesal juga karena kami berdua ternyata kacau saat disatukan.

Bermain piano selama dua jam tanpa henti dan mengulang-ulang pada bagian yang sama terus ketika salah, adalah hal yang menyebalkan. Aku juga benci dengan kesalahan.

Sementara waktu yang ku mintakan izin untuk latihan piano sudah habis. Mau tidak mau kami hari menyudahi latihannya. Setidaknya... Komentar Ko Ferry tadi sudah cukup membuat kami sadar akan kesalahan kami. Bu Sandra pasti tidak sampai hati untuk mengatakannya pada kami.

Ya sudahlah. Dua orang nggak nyambung mau disatuin?

Hasilnya kalau nggak hancur, ya cuma kacau. Iya, tahu kok. Emang nggak ada yang bagus keduanya.

-----

"Ko Ferry itu siapa tadi?" Tanya Marco kepadaku saat kami sudah bertolak untuk pulang lagi.

"Ko Ferry itu vikaris di gereja gue tadi. Ya... Mau diangkat jadi pendeta muda nggak lama lagi. Dia bisa main piano juga, makanya tadi waktu kita main dan kacau—pake banget—dia komentarnya cukup pedes."

Aku bisa melihat Marco manggut-manggut.

"Memangnya waktu kita berdua main tadi sekacau apa sih?" Tanya Marco lagi saking penasarannya. Aku bisa melihat kerutan keningnya yang jelas karena bingung.

"Makan dulu yuk?" Alih-alih menjawab, aku malah mengajaknya makan. Marco memalingkan wajahnya kepadaku. Tentunya jawabanku itu bukan apa yang dia inginkan. "Seriusan deh, kita berdua perlu makan kayaknya. Kalo lo nggak mau makan ya nggak apa. Gue laper soalnya."

"Gue.. ng.."

Krucuk-krucuk.

Suara keroncongan yang berasal dari perut Marco pun terdengar jelas. Dia sendiri rupanya juga lapar. Lebih lapar dari aku malahan.

Something WonderfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang