21. Harus pisah?

1.5K 199 54
                                    

Awal hari yang seharusnya aku inginkan untuk tidak membahas masalah itu lagi sampai kegusaranku terhadap Jeon mereda dengan sendirinya, nyatanya kembali naik ke permukaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Awal hari yang seharusnya aku inginkan untuk tidak membahas masalah itu lagi sampai kegusaranku terhadap Jeon mereda dengan sendirinya, nyatanya kembali naik ke permukaan.

Setelah lama bergeming, akhirnya Jeon menceritakan semuanya. Sama persis saat dia menceritakan itu padaku. Nampaknya sempat membuat mereka terperanggah beberapa sekon, tapi tidak denganku.

“Dari ceritamu awalnya tidak ada yang salah. Niatmu baik, Jeon. Tapi berbohong tetap tidak dibenarkan. Apa kalau Bitna tidak tahu kau akan tetap berbohong?” sergah sang Mama.

Jeon terlihat menunduk, gurat menyesalnya kembali nampak di irasnya. “Iya, Jeon akui itu memang salah. Jeon tidak berpikir bagaimana perasaan Bitna pada saat itu, tapi Jeon benar-benar menyesal, Ma. Jeon tidak mengira akan jadi seperti ini, dan membuat Bitna marah.”

“Kau mengerti, kan, Jeon? Kebohongan dalam sebuah hubungan itu menjadi serangan besar. Kau menghilangkan separuh kepercayaan Bitna dan Papa tidak pernah mengajarkan itu padamu!” timpal sang Papa yang sejak tadi hanya diam. Netra Papa menatap lurus ke arah putra bungsunya itu.

“Jeon mengerti, dan tidak akan melakukannya lagi. Jeon tidak ingin kehilangan Bitna, Pa,” balas Jeon terdengar sendu. Membuatku menatap ke arahnya yang terduduk di sofa di hadapanku.

“Lalu Bitna, bagaimana dengamu?”

Seketika tatapan semuanya beralih ke arahku.

Aku mengusap pelan sebelah pelupuk mataku. Aku hanya tidak habis pikir, apa yang Soora ingin lakukan sampai datang ke rumah Jeon. Padahal, aku sudah berbaik hati untuk tidak membawa masalah ini terlalu serius dan tidak berniat menemuinya. Aku anggap ini masalah awal pernikahan kami saja, antara aku dan Jeon, sebab kelinci tengik itu berbohong.

Akhirnya, aku menghela napas, “Bitna sudah memaafkan Jeon yang hanya ingin membantu. Tapi untuk yang lain, Bitna butuh waktu,” jawabku sekenanya.

Serius, aku seperti ini bukan karena tidak mencintai Jeon. Perasaanku masih sama seperti dulu, hanya saja rasa kecewa masih membekas. Dan aku butuh waktu menghilangkan itu.

Melihat dari sudut mataku, Jeon menatap cepat ke arahku. Mungkin dia agak kecewa dengan jawabanku. Tapi sungguh, aku hanya menjawab apa yang aku rasakan.

"Tidak ada yang berniat ikut campur. Tapi pernikahan kalian masih sangat dini, jadi masih perlu bimbingan. Dan Ayah tidak ingin masing-masing dari kalian justru mengadu ke tempat yang salah. Karena keluarga tetap menjadi tempat berteduh terbaik," tukas Ayah yang akhirnya ikut bersuara.

Suara Ayah masih teramat tenang. Sejak dulu seperti itu, Ayah tidak pernah marah atau membentakku. Kalau aku salah, Ayah akan memberiku pengertian sehalus mungkin. Itu yang membuatku tidak pernah membantah perkataannya.

Ibu mengangguk menyetujui, “Yah, terlebih lagi kalian tinggal bersama. Saling diam terus-menerus itu tidak baik karena setiap hari harus bertemu dan melihat orang yang sama.”

𝐁𝐨𝐭𝐡 𝐨𝐟 𝐔𝐬Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang